PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: Agustus 2012

Jumat, 31 Agustus 2012

IMPOR BERAS: 20.000 Ton Beras asal Kamboja siap masuk

Perusahaan pengekspor beras Kamboja,Khy Thay Corp siap mengkapalkan 20.000 ton beras dan membeli peralatan pertanian dan pupuk dari Indonesia menyusul ditandatanganinya kesepakatan pembelian beras Kamboja 100.000 ton beras per tahun.

"Jika sudah ada order dari Bulog, setiap saat bisa kami kirim. Anda lihat, di gudang kami stoknya ada. Untuk pengapalan pertama, 20.000 ton kami siap," kata Dirut Khy Thay Corp, yang kebetulan namanya juga Khy Thay di Provinsi Kampong Cham, Kamis (30/8/2012), sambil menunjuk ke tumpukan karung beras di gudang penyimpanan stok beras dan gabahnya.

Wartawan Indonesia yang mengikuti kunjungan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan ke Kamboja diundang ke lahan pertanian, pabrik pengeringan gabah dan penggilingan padi, serta gudang beras Khy Thay Corp di Distrik Suang, sekitar 150 km dari kota Siem Reap.

Perusahaan itu ingin menunjukkan kesiapan dan kompetensinya sebagai pengekspor beras ke Indonesia bersama-sama dengan Green Trade Corp, BUMN Kamboja.

“Kami sudah mengantongi izin resmi dari Kementerian Perdagangan Kamboja untuk mengekspor beras ke luar negeri, termasuk ke Indonesia," kata Prof. Samnang Heng, penasehat Khy Thay Corp yang hadir saat perjanjian ditandatangani oleh Mendag Gita Wirjawan dan Mendag Kamboja Cham Prasidh di sela-sela Pertemuan ke-44 Menteri-Menteri Ekonomi Asean.

Sesuai dengan pasal 2 Nota Kesepahaman antara pemerintah Indonesia dan Kamboja, Green Trade Corp bersama-sama dengan eksportir beras Kamboja lainnya akan menjadi pelaksana perjanjian tersebut. Khy Thay merekrut PT Galuh Prabu Wijaya sebagai mitranya Indonesianya.

Samnang Heng menjelaskan Khy Thay adalah perusahaan keluarga yang didirikan sejak tahun 1930 yang membeli gabah dari petani, menggilingnya, dan menjualnya ke Thailand dan Vietnam. Pada era 1970-an, perang saudara memporakporandakan apa yang sudah dibangun keluarga Khy Thay selama bertahun-tahun.

“Saat rezim komunis mengambil alih kekuasaan 1975, keluarga Khy Thay jadi budak dan meninggal dunia akibat kekejaman rezim. Pabrik penggilingan padi mereka ditelantarkan oleh pemerintah komunis, mesin-mesinnya dihancurkan, " katanya.

Pada 1979, Khy Thay Jr, pewaris keluarga, kembali membuka pabrik untuk membantu petani setempat menamam padi dan membeli hasil panen mereka. Pada 2008, pemerintah Kamboja secara resmi memberikan izin bagi perusahaan mengekspor beras seperti ke Polandia, Uni Soviet, dan negara-negara Asia lainnya.

“Dalam 4 tahun terakhir ini, kami menjadi perusahaan utama kamboja yang mengekspor beras ke Polandia, negara-negara bekas Uni Soviet, Belanda dan Jerman. Kami bahagia dengan ditandatanganinya kesepakatan Indonesia-Kamboja, pada akhirnya kami juga bisa ekspor ke Indonesia," kata pengajar sejarah Asia di Universitas Phnom Penh itu.

Khy Thay Jr berusaha meyakinkan bahwa perusahaannya memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan beras dunia, tidak hanya untuk Indonesia.

"Kami punya pabrik pengolahan gabah sendiri, lahan pertanian sendiri, disamping menampung hasil panen dari petani setempat," katanya.

Itu didukung oleh posisinya sebagai Ketua Asosiasi Penggilingan Padi Kamboja (CRMA). "Anggota CRMA terdiri atas 45 pemilik penggilingan padi di seluruh Kamboja," lanjutnya.

Imbal balik Menjawab pertanyaan, apa yang akan dibeli dari Indonesia sebagai imbal balik menjual beras, baik Khy Thay Jr maupun Samnang Heng menyatakan mereka akan mengimpor peralatan pertanian mulai dari pupuk, traktor, mesin pengering gabah dan penggiling padi.

“Saya faham betul dalam bisnis itu ada imbal baliknya: Saya jual apa, Anda beli apa. Jadi sama-sama menguntungkan. Kalau tidak ada imbal balik, tidak akan ada deal bisnis," kata Prof. Samnang Heng.

Direktur PT Galuh Prabu Trijaya Ika Yulita Hasanah menambahkan pihak Indonesia bisa lebih diuntungkan dari kerja sama pembelian 100.000 ton beras Kamboja.

"Sebab, Indonesia sebaliknya bisa memasukkan peralatan pertanian dan teknologi pasca-panen lainnya," kata Ika Yulita Hasanah.

Ika memperkirakan Kamboja akan membeli mesin-mesin pertanian seperti pengering gabah dan penggiling padi dengan nilai ratusan juta dolar AS. "Semoga perjanjian ini bisa segera dilaksanakan tahun ini juga," demikian Ika Yulita Hasanah.

Rabu, 29 Agustus 2012

Indonesia impor beras Kamboja 100.000 ton/tahun

Ini cadangan untuk jaga-jaga karena produksi nasional setiap tahunnya kurang 2 juta sampai tiga juta ton.
Pemerintah Indonesia menandatangani kesepakatan untuk membeli beras dari Kamboja dengan volume 100.000 ton per tahun untuk jangka waktu lima tahun ke depan dan sebaliknya negeri bangsa Khmer itu akan mengimpor pupuk dan peralatan pertanian seperti traktor dan mesin penggiling gabah.

Kesepakatan itu ditandatangani oleh Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan dan Menteri Perdagangan Kamboja Cham Prasidh pada sela-sela Pertemuan ke-44 Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN di Siem Reap, Kamboja.

Turut menyaksikan penandatangan kesepakatan itu Dubes RI untuk Kamboja Soehardjono Sastromihardjo dan sejumlah pengusaha Indonesia yang berbisnis di Kamboja.

"Ini penandatangan kesepakatan pertama kali yang bersejarah," kata Menteri Perdagangan Kamboja Cham Prasidh sambil menyalami mitranya Mendag Gita Wirjawan.

"Akan banyak lagi kesepakatan seperti ini yang ditandatangani ke depan," jawab Gita Wirjawan.

Chad Prasidh tampak begitu sumringah karena berhasil menggolkan kesepakatan penjualan beras itu kepada Indonesia.

Kamboja memproduksi 8,25 juta ton beras tahun 2011. Pada tahun 2012, Kamboja mentargetkan eskpor beras sebanyak 180.000 ton, dan sampai dengan 2015 Kamboja mematok target ekspor beras sedikitnya 1 juta ton.

Pembicaraan soal kesepakatan pembelian beras, menurut Prasidh, sudah lama dibahas dan dibicarakan dengan pihak Indonesia. Ia mengaku senang sekali pada akhirnya kesepakatan itu berhasil ditandatangani dan dilaksanakan.

Menjawab pertanyaan apa yang akan dibeli dari Indonesia sebagai imbal balik penjualan beras ke Indonesia, Prasidh mengatakan apa saja yang Indonesia punya dan dibutuhkan oleh rakyat Kamboja.

Oleh karena rakyat Kamboja 80 persen bertani, maka yang diperlukan adalah pupuk dan teknologi pertanian serta penanganan pasca-panen.

"Kami butuh pupuk, traktor, dan mesin penggiling gabah, silahkan pengusaha Indonesia pasok ke Kamboja bersama-sama dengan mitra-mitra kami lainnya," kata Prasidh.

Mendag Gita Wirjawan mengatakan kesepakatan tersebut merupakan payung hukum yang nantinya akan dieksekusi oleh Bulog sebagai penyangga komoditi strategis beras. Kesepakatan yang sama juga sudah ditandatangani dengan Thailand dan Vietnam.

"Intinya adalah untuk keamanan pasokan dan ketersediaan beras, bukan serta merta langsung diimpor. Ini cadangan untuk jaga-jaga karena produksi nasional setiap tahunnya kurang 2 juta sampai tiga juta ton," katanya.

Kurangi konsumsi beras

Menurut Gita, produk pangan menghadapi ketidakpastian pasokan karena faktor cuaca dan perubahan iklim. Sementara produksi beras nasional antara 35 juta sampai 40 juta ton per tahun sehingga untuk stabilitas harga dan cadangan terpaksa harus impor untuk memenuhi kekurangannya.

Di sisi lain, katanya, pemerintah mentargetkan tahun 2014 produksi beras nasional surplus 10 juta ton.

"Sebenarnya supaya surplus gampang saja, kurangi konsumsi beras dengan diversikasi pangan," katanya.

Data Kementerian Perdagangan menyebutkan konsumsi beras Indonesia adalah 140 kg per orang per tahun. Itu jaiuh di atas angka-angka konsumsi beras di Vietnam, Thailand, dan Malaysia yang hanya berkisar 65-70 kg.

Menurut Gita, jika Indonesia bisa menurunkan konsumsi beras dari 140 kg ke 100 kg saja maka sudah bisa menghemat 40 kg per tahun. Jika angka itu dikalikan 250 juta penduduk, maka penghematannya mencapai 10 juta ton.

"Jika kita bisa menghemat 10 juta ton, maka kita tidak usah impor tiga juta ton. Sebaliknya malah bisa ekspor tujuh juta ton," demikian Mendag Gita Wirjawan.

Mendag Pastikan Indonesia Siap Impor Beras Dari Kamboja

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyatakan Indonesia siap menandatangani pengadaan cadangan beras dari Kamboja yang nilainya sekitar 100.000 metrik ton untuk jangka waktu lima tahun ke depan.
"Prinsipnya kita akan teken MOU pengadaan cadangan beras secepatnya, tidak hanya dengan Kamboja, tetapi juga dengan Laos, Vietnam dan negara lain. Ini kita lakukan untuk ketahanan dan keamanan pangan jika suatu waktu diperlukan," katanya seusai pembukaan Pertemuan ke-44 Menteri Ekonomi ASEAN oleh Perdana Menteri Kamboja Hun Sen di Siem Reap, Senin (27/8/2012).

Menurut Gita, pembahasan mengenai kerjasama pengadaan cadangan beras dari Kamboja itu sudah lama dilakukan dengan melibatkan Bulog sebagai badan penyangga pangan khususnya beras. Di tengah pertemuan Menteri Ekonomi ASEAN ada desakan dari Kamboja agar MOU kerjasama itu segera ditandatangani oleh Menteri Perdagangan kedua negara.

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen sebelumnya pernah meminta Indonesia membeli beras dari Kamboja karena negeri itu memiliki surflus produksi beras ratusan ribu ton dan juga berharap agar pengusaha Indonesia bisa melakukan investasi pasca-panen seperti dalam bidang teknologi penggilingan gabah.

Kamboja terkenal sebagai negara agraris karena 80 persen penduduknya bertani. Kamboja memproduksi 8,25 juta ton beras tahun 2011. Pada tahun 2012, Kamboja mentargetkan eskpor beras sebanyak 180.000 ton. Sampai dengan 2015, Kamboja mematok target ekspor beras sedikitnya 1 juta ton.

"Saya niat untuk meneken MOU itu segera, tidak perlu menunggu sampai bulan November 2012 saat KTT ASEAN berlangsung di Phnom Penh," katanya.

Menurut Duta Besar Indonesia di Kamboja Soehardjono Sastromihardjo Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono akan menghadiri kunjungan kenegaraan ke Kamboja sehari sebelum KTT ASEAN pada 16--18 Nopember 2012.

Para pengusaha Indonesia yang berbisnis di Kamboja menyambut baik rencana penandatanganan MoU soal pengadaan beras dari Kamboja. Direktur Pengembangan Bisnis PT Galuh Prabu Trijaya Mohamad Helmi BB menyatakan kerjasama itu akan membantu para pengusaha Indonesia di Kamboja memperluas usahanya karena terdapat payung hukum yang jelas.

Perusahaan Helmi sudah beroperasi sejak tahun 2005 dengan membantu para petani lokal dan menguasai lahan lebih dari 1,2 juta hektar. PT Galuh membantu petani dari mulai menanam yang produktif, menyediakan pupuk yang dipasok dari Indonesia, sampai traktor dan penggilingan gabah.

Selama ini, kata Helmi, para petani setempat hanya berproduksi 2 ton per hektaredan hanya panen dua kali dalam setahun. Dengan bantuan teknologi pertanian, penyediaan pupuk, dan bimbingan perusahannya, petani Kamboja bisa panen tiga kali dalam setahun dengan produksi antara 6 sampai 7 ton per hektare.

Untuk membimbing petani lokal, PT Galuh Prabu Trijaya, membawa lebih dari 300 petani Indonesia untuk bekerja di lahan pertaniannya yang tersebar di sejumlah propinsi seperti Kompong Thom dan Kompong Cham.

Biasanya, lanjut Helmi, produk gabah dan beras kelompok koperasi Khythay Corp dijual ke Thailand atau negara lain. "Jika Bulog membeli beras Kamboja produksi petani kami, akan lebih baik lagi karena bagaimanapun itu sebetulnya produksi pengusaha Indonesia walau lahannya di Kamboja," katanya.

Ia membandingkan dengan lahan perkebunan sawit milik pengusaha Malaysia di Indonesia.

"Pengusaha Malaysia bisa memiliki kebun sawit di Indonesia karena pemerintahnya membantu memberikan fasilitas dan payung hukum. Pengusaha Indonesia juga bisa memiliki lahan pertanian di Kamboja dengan bantuan payung hukum pemerintah," katanya.

Pengusaha lain, Rudy Halim dari PT Padi Tonle, juga meminta dukungan legalitas dan payung hukum. "Jangan sampai kami investasi di sini, lalu uangnya amblas, tanpa ada perlindungan dari pemerintah atau minimal KBRI," katanya.

Ia menyambut baik MoU soal beras tersebut karena akan menjadi semacam legalitas dan perlindungan usahanya di Kamboja.

Senin, 27 Agustus 2012

Hun Sen minta Indonesia beli beras Kamboja

Perdana Menteri Kamboja Hun Sen meminta Indonesia membeli beras dari Kamboja karena negeri itu memiliki surplus produksi beras ratusan ribu ton dan juga berharap agar pengusaha Indonesia bisa melakukan investasi pasca-panen seperti dalam bidang teknologi penggilingan gabah.

"Saya dengar sendiri, Hun Sen menyampaikan permintaan itu langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat bertemu pada KTT ASEAN di Bali tahun lalu," kata Dubes RI untuk Kamboja Soehardjono Sastromihardjo di Siem Riep, Kamboja, Minggu, di sela-sela pertemuan pejabat senior ekonomi ASEAN yang mempersiapkan Pertemuan ke-44 Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN.

Perdana Menteri Hun Sen dijadwalkan membuka secara resmi Pertemuan ke-44 Menteri-Menteri Ekonomi ASEAN yang akan membahas masalah kerjasama perdagangan dan investasi, termasuk di dalamnya masalah keamanan pangan. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Perdagangan Gita Wirjawan yang sudah tiba di Siem Riep sejak Minggu siang.

Kamboja terkenal sebagai negara agraris karena 80 persen penduduknya bertani. Kamboja memproduksi 8,25 juta ton beras tahun 2011. Pada tahun 2012, Kamboja mentargetkan eskpor beras sebanyak 180.000 ton.

"Sampai dengan 2015, Kamboja mematok target ekspor beras sedikitnya 1 juta ton. Kualitas berasnya bagus dengan harga yang lebih murah," kata Dubes Soehardjono yang ikut hadir dalam pertemuan Hun Sen dengan Presiden Yudhoyono.

Direktur Pengembangan Bisnis PT Galuh Prabutrijaya Mohamad Helmi yang memasok pupuk ke kelompok tani Kamboja juga membenarkan jika kualitas beras Kamboja tidak kalah dengan beras Vietnam atau Thailand dengan harga yang bersaing.

"Harga beras putih terbaik Kamboja harganya sekitar 450 dolar per ton, sementara di Thailand harganya bisa sampai 600 dolar per tonnya," kata Helmi.

Selain meminta Indonesia membeli beras Kamboja, menurut Soehardjono, Hun Sen juga meminta investor Indonesia untuk menanam modal dalam kegiatan pasca panen. "Mereka tidak punya penggilingan padi yang cukup. Untuk itu sebagain gabahnya digiling di Vietnam dan Kamboja," katanya lagi.

Kamboja membidik pasar Eropa dan AS untuk ekspor berasnya. Sementara, pasar Asia yang menjadi sasaran adalah Korsel, China, Jepang dan Indonesia.

Harian The Phnom Penh akhir Maret 2012 memberitakan rencana Kamboja yang akan menandatangani kesepakatan pengiriman sebanyak 20.000 ton beras giling dengan harga 400 dolar AS per ton dengan pemerintah Indonesia.

Harian itu melaporkan bahwa pembicaraan telah dilakukan antara pihak Kamboja dan Indonesia. Kamboja diwakili Thon Virak direktur BUMN perdagangan beras Green Trade sekaligus ketua asosiasi eksportir dan federasi penggilingan padi.

"Kesepakatan sedang menunggu persetujuan oleh kedua negara," tulis The Phnom Penh Post. Thon Vireak mengatakan Jakarta memesan beras antara 10.000 dan 20.000 ton pada harga 400 dolar AS per ton.

"Sebenarnya, mereka meminta sekitar 200.000 ton, tapi saya tidak bisa menerima karena sangat besar," katanya.

Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso kepada pers pernah mengungkapkan penjajakan dengan Kamboja sudah dilakukan sejak tahun lalu, namun belum tercapai suatu kesepakatan. "Kami jajaki impor beras dari negara lain untuk menghindari monopoli yang bisa menyebabkan kecenderungan harga naik," katanya.

Kamis, 23 Agustus 2012

Musim Kering Panjang, Pemerintah Masih Pikir-pikir Impor Beras

Jakarta - Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengumumkan kekeringan akan melanda Indonesia lebih panjang. Melihat kondisi ini,apakah pemerintah bisa bertahan tidak mengimpor beras?

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, hingga saat ini pemerintah belum memutuskan melakukan impor beras.

"Sampai saat ini pemerintah belum putuskan untuk lakukan impor beras," ujar Hatta ketika ditemui di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (23/8/2012).

Namun, kata Hatta, yang menjadi kewaspadaan pemerintah adalah BMKG sudah mengumumkan kekeringan akan melanda Indonesia bakal 1 bulan lebih lama dari biasanya.

"Namun BMKG sudah mengumumkan kekeringan lebih panjang satu bulan lagi, artinya pengaruh musim tanam akan mundur satu bulan, dan ini harus diwaspadai dan antisipasi, terutama pada cadangan pangan salah satunya beras," ungkap Hatta.

Bahkan Perum Bulog belum yakin, apakah tahun ini tidak melakukan impor beras. Karena stok beras akhir tahun yang diminta sebesar 2 juta ton dari penyerapan panen petani juga sulit untuk tercapai.

"Kita belum tahu impor atau tidak, namun stok akhir tahun yang diminta pemerintah sebesae 2 juta ton masih terus dikumpulkan, namun berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, stok akhir tahun tidak akan pernah mencapai 2 juta ton," kata Kepala Bulog Surato Alimoeso beberapa waktu lalu.

Untuk menghindari impor beras lagi, kata Sutarto, tergantung bagaimana produksi beras dari dalam negeri terutama program dari surplus 10 juta ton pada 2014.

"Jadi kami juga menunggu bagaimana program Kementerian Pertanian surplus 10 juta ton, kalau program tersebut berjalan, kita tidak akan kesulitan untuk melakukan penyerapan," cetusnya.

Hatta: Impor Beras Untuk Amankan 254 Juta Jiwa Rakyat Indonesia

Jakarta - Pemerintah sampai saat ini belum berpikir untuk kembali mengimpor beras, Namun jika melihat stok beras saat ini dengan ancaman kekeringan yang makin panjang, bisa jadi Indonesia kembali impor beras.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan masyatakat tak perlu risau dan khawatir apabila pemerintah terpaksa harus melakukan impor beras.

"Kita sampai saat ini belum melakukan impor beras, tapi kalaupun harus impor beras, jangan khawatir, kita impor kalau tujuannya untuk meningkatkan cadangan beras kita dan mengantisipasi kondisi pangan dunia ke depan apabila terjadi kelangkaan," kata Hatta di kantornya, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (23/8/2012).

Dikatakan Hatta, saat ini stok beras di gudang Bulog mencapai 1,5 juta ton. Kemudian dengan tujuan meningkatkan cadangan beras, pemerintah menambah impor hingga mencapai stok beras sebesar 2 juta ton atau 2,5 juta ton.

"Jadi misalnya kalau saat ini stok beras di gudang Bulog 1,5 juta ton. Untuk meningkatkan cadangan menjadi 2 juta-2,5 juta ton dengan melalui impor, untuk mengantisipasi kondisi dunia ke depannya, dan juga kekeringan yang semakin panjang dan mengamankan pangan 254 juta jiwa rakyat Indonesia," jelasnya.

Jadi, kata Hatta, tidak perlu harus khawatir jika Indonesia harus melakukan impor beras. Rencana untuk swasembada akan terus dilakukan agar bisa lepas dari impor.

"Jika nanti Indonesia harus impor beras, jangan dianggap kenapa kita harus impor, kenapa kita impor beras padahal kita sudah swasembada beras, jangan begitu cara bepikirnya. Ini demi untuk mengamankan pangan 254 juta jiwa, kalau kita tidak antisipasi lalu ketakutan kita terjadi bisa berbahaya," tandasnya.

Senin, 20 Agustus 2012

Rencana Impor Beras dari Vietnam Masih Tahap Pengkajian

Seusai Lebaran, Menteri Perdagangan akan mengajak Bulog guna membahas lebih lanjut tentang rencana pemerintah mengimpor beras 500.000 ton dari Vietnam. Saat ini, rencana impor beras 500.000 ton dari Vietnam masih dalam tahap pengkajian.
Demikian yang dikatakan Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan, saat acara open house di kediaman dinasnya, Minggu (19/8).
“ Hasil kajian ini, ujung-ujungnya ada dua kepentingan yaitu pertama, kita bisa menjaga stabilitas harga; kedua, kita bisa mencapai surplus 10 juta ton beras di tahun 2014,” ujar Gita.
Lebih lanjut dikatakan Gita, untuk mencapai surplus 10 juta ton ini harus mencapai swasembada pangan dulu. Oleh karena itu, harus dicari balancingnya dulu antara kedua kepentingan tersebut.
Di tempat yang sama, Direktur Utama Perum Bulog, Sutarto Alimoeso mengatakan rencana pemerintah mengimpor beras, tergantung pada keputusan pemerintah. Bulog sudah mencoba menghitung-hitung cadangan beras yang harus ada di Bulog. Sekarang masih menunggu waktu yang tepat untuk kepastian impor beras atau tidak.
Kalau sampai hari ini, kata Sutarto, stok beras di dalam negeri masih di atas 2 juta ton. Pada dasarnya dengan stok beras 2 juta ton ini adalah stok yang cukup aman.
Sutarto berharap agar akhir Agustus ini sudah ada keputusan impor atau tidak dari pemerintah. “ Saya kira minggu depan mudah-mudahan hasil kajiannya akan dilakukan evaluasi,” ujar Sutarto

Sabtu, 18 Agustus 2012

Mentan Minta Bulog Jangan Rajin Impor Beras




Jakarta - Menteri Pertanian Suswono meminta Bulog untuk tidak terburu-buru melakukan impor beras untuk memperkuat cadangan beras dalam negeri.

Suswono berharap agar Bulog mengoptimalkan penyerapan beras dalam negeri. "Sekarang ini masih ada panen kok dimana-mana. Jadi Bulog jangan berpikir untuk impor dulu, tapi optimalkan dari dalam," tuturnya, Jumat (17/8/2012).

Menurutnya, bila Bulog mampu menyerap beras dalam negeri secara optimal maka cadangan beras bisa mencapai 1,5 juta ton hingga akhir tahun ini. "Kalau sudah 1,5 juta ton kita sudah tidak usah impor," ungkapnya.

Hingga semester I 2012, jumlah pengadaan setara beras Bulog telah mencapai 2.336.217 ton. Posisi tersebut meningkat 83% dibandingkan realisasi penyerapan Bulog setara beras pada periode yang sama tahun lalu, sebesar 1.276.883 ton. Total realisasi pengadaan beras dalam negeri pada tahun lalu mencapai 1.742.480 ton.

Bulog telah menggelontorkan dana kredit sebesar Rp15,4 triliun atau 77% dari total anggaran sebesar Rp20 triliun, untuk penyerapan beras tersebut. Sampai dengan saat ini, Bulog pun meraup untung hingga Rp 111 miliar.

Bulog: Importir Tunggal Itu Paling "Safe"

Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso menyatakan, opsi Bulog sebagai importir tunggal adalah yang paling aman untuk menstabilkan harga komoditas yang strategis.
"Kan itu opsi-opsi, kalau Bulog ditanya yang paling safe adalah kalau (importir) tunggal. Itu kan artinya tidak ada distorsi," sebut Sutarto, di kompleks DPR RI, Jakarta, Kamis (16/8/2012).
Sutarto menjelaskan, Pemerintah sekarang ini masih melakukan kajian seperti apa kebijakan yang pas untuk melindungi konsumen dan produsen dari naik-turunnya harga komoditas. Salah satu opsi adalah kemungkinan Bulog menjadi importir tunggal.
Selama ini, jelas Sutarto, Bulog telah menjadi importir tunggal untuk komoditas beras. Artinya, beras menjadi komoditas yang betul-betul dikuasai oleh Pemerintah. Dengan cara itu, ia mengatakan, harga beras pun menjadi stabil.
"Itu artinya yang paling safe. Artinya, kan semua tahu dengan mekanisme beras kemarin yang kita lakukan, itu kan beras tidak ada gangguan masalah harga. Tahun ini betul-betul bisa kita stabilkan," terang dia. Oleh sebab itu, ia pun memandang opsi importir tunggal paling aman untuk diterapkan di komoditas strategis lainnya.
Namun, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menyatakan rasa tidak setuju bila Bulog menjadi importir tunggal untuk komoditas selain beras. Gita berpendapat, itu akan mengganggu sistem perdagangan yang sudah terbentuk antara pedagang dalam negeri dan eksportir.
"Karena kalau disruptif, nanti konsumen juga yang dirugikan," sebut Gita, di Jakarta, Selasa (14/8/2012).
Terhadap pandangan Mendag tersebut, Sutarto pun berpendapat bahwa tidak masalah bila eksportir terganggu. Ini mengingat eksportir bukan orang Indonesia.
"Pedagang dalam negeri tergantung bagaimana kita menanganinyakan. Tapi kan itu opsi," lanjut Sutarto. "Agustus (keluar hasil kajiannya)," tandasnya.

Rabu, 15 Agustus 2012

Indonesia siap-siap impor beras dari Vietnam

JAKARTA. Vietnam sepakat memberikan opsi pembelian beras sebanyak 500.000 ton kepada Indonesia jika diperlukan setelah bulan September mendatang. Hal ini disampaikan salah seorang pejabat Indonesia di Jakarta.
Opsi mengimpor beras dari Vietnam tersebut dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya inflasi serta krisis pangan. Indonesia sebagai negara terpadat keempat dunia khawatir, kekeringan di Amerika Serikat membuat harga pangan jagung dan kedelai naik.

"Pemerintah telah membuat langkah-langkah dalam impor," kata salah satu pejabat di Perum pengadaan Bulog. Ia bilang, impor beras dari Vietnam tersebut bisa dilakukan jika Indonesia membutuhkan. "Kemungkinan diperlukannya setelah akhir September," tambahnya.
Di Hanoi, koran Vietnam Economic Times melaporkan, kesepakatan pembelian beras antar pemerintah itu tidak menjelaskan soal harga atau pengiriman. Adanya permintaan beras dari Indonesia itu, membuat harga beras di Vietnam kembali naik.
"Perusahaan Vinafood 2 telah membeli beras lagi untuk membangun saham, mereka takut harga bisa naik," kata seorang pedagang di Ho Chi Minh. Ia menambahkan, bahwa harga domestik meningkat dalam dua pekan terakhir setelah Indonesia berminat membeli beras Vietnam.

Beras tingkat pecahan 15% di Vietnam naik dari semula US$ 415 per ton kini menjadi US$ 420 per ton.

Rabu, 08 Agustus 2012

Kontroversi Rencana Impor Beras

BEBERAPA hari terakhir media ramai memberitakan tentang rencana pemerintah mengimpor beras. Rencana itu dilakukan di tengah produksi beras surplus dan serapan Bulog optimal (SM, 23/07/12). Sudah tentu kebijakan ini pantas untuk digugat dan diperdebatkan.
Rencana impor beras kali pertama mencuat saat Kementerian Perdagangan Kamboja melalui situs Oryza News menyatakan bahwa Indonesia akan membeli 100.000 ton beras dari Kamboja. Nota kesepahaman akan ditandatangani pada Agustus. Sungguh hal ini sangat kontroversial mengingat belum lama berselang BPS melansir data angka ramalan (Aram) produksi padi nasional 2012.
Menurut Aram BPS produksi padi nasional 2012 mencapai 68,59 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka itu diperoleh dari produksi riil Januari hingga April 2012 ditambah perkiraan produksi Mei-Desember 2012. Angka produksi itu meningkat 4,31% dibanding tahun lalu yang 65,76 juta ton GKG.
Jika ramalan produksi padi 68,59 juta ton GKG terealisasi, nominal tersebut akan setara dengan 38.563 juta ton beras. Dengan asumsi konsumsi beras penduduk 135,01 kilogram/kapita/tahun maka kebutuhan beras nasional mencapai 33.035 juta ton. Akhir tahun 2012 terjadi surplus produksi beras 5,5 juta ton.
Kontroversi rencana impor beras ini sangat wajar karena tak ada satu pun alasan pembenar bagi pemerintah untuk panen beras di pelabuhan (baca: impor). Di samping prediksi produksi beras nasional tahun ini bagus, capaian prestasi pengadaan beras dalam negeri oleh Bulog juga cukup menggembirakan. Dari prognosa pengadaan beras 2012 sebesar 3 juta ton, saat ini telah terealisasi 2,5 juta ton. Angka penyerapan beras petani oleh Bulog ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka penyerapan tahun lalu yang hanya 1,8 juta ton.
Satu hal yang juga perlu dipertanyakan, rencana impor beras kali ini tidak didahului dengan kajian akademis yang memadai. Memang, dari perhitungan waktu sejak dikeluarkan Aram produksi beras BPS masih menyisakan waktu 6 bulan hingga akhir 2012. Sepanjang beberapa bulan ke depan kita akan memasuki musim kering. Namun kita belum pernah mendengar sinyal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyatakan bahwa musim kering kali ini sangat ekstrem, atau terdapat kondisi ekstrem lain yang mengharuskan pemerintah mengimpor beras.
Revitalisasi Pertanian
Rencana impor beras di tengah melimpahnya produksi di dalam negeri, serta tidak adanya kondisi darurat yang mengharuskan impor, menjadi bukti betapa penentu kebijakan pangan di negeri ini masih terjangkiti penyakit myopic. Selalu memandang peran pangan dalam domain sempit dan horizon pendek. Mengabaikan pentingnya kemandirian pangan karena akses impor sangat mudah dilakukan.
Akibat lebih jauh, meski sumber daya alamnya melimpah, Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan komoditas pertanian, yang sangat menyedihkan ketika peningkatannya 200 kali lipat hanya dalam waktu kurang dari 6 tahun. Data Bappenas tentang neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia menyebutkan tahun 2006 terjadi defisit 28,03 juta dolar AS. Angka nominal defisit neraca perdagangan tersebut membengkak menjadi 5,509 miliar dolar AS pada 2011.
Menurut catatan BPS, hingga semester pertama 2011 impor pangan negara kita mencapai 6,35 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 57 triliun. Devisa sebesar itu dapat digunakan untuk membangun sebuah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama lebih dari 57 tahun. Saat ini rata-rata APBD kabupaten/ kota sekitar Rp 1 triliun/tahun. Ironis memang.
Untuk mencegahnya hal itu terjadi program revitalisasi pertanian harus benar-benar dilakukan dengan kegiatan yang lebih membumi. Antara lain dengan membangun dan memperbaiki berbagai sarana infrastruktur pertanian dan perdesaan, memperbesar akses permodalan dan kredit petani, pengembangan riset teknologi di bidang pertanian, memberikan perlindungan pasar kepada petani, dan mempercepat pelaksanaan reformasi agraria.

Kapasitas Gudang Bulog 4 Juta Ton

Sebanyak 2,3 Juta Ton Diisi Beras, Sisanya Bisa untuk Komoditas Lain

JAKARTA – Pemerintah hingga saat ini masih mengkaji rencana pemberian wewenang kepada Perum Bulog untuk mengelola bahan pangan selain beras. Rencananya, perluasan wewenang bagi Bulog ini akan diputuskan pada 30 Agustus 2012 mendatang. Tim yang dibentuk oleh Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa akan memutuskan skema penunjukan Bulog untuk menjaga stabilisasi harga 4 komoditas, yaitu beras, jagung, kedelai, dan gula.
”Kami masih tunggu keputusan pemerintah. Saat ini tim pemerintah masih membahasnya,” kata Direktur Pelayanan Publik Bulog, Agusdin Faried di Jakarta kemarin (6/8). Dia menuturkan, belakangan ada usulan Bulog juga diberi tugas dalam stabilisasi harga daging sapi. ”Ada wacana itu, tapi sekali lagi kami tunggu penunjukan pemerintah,” katanya.
Dia menurutkan, rencana revitalisasi Bulog sebagai stabilisator harga bahan pokok harus didukung beberapa instrumen. Yakni infrastruktur, payung hukum yang jelas, dan sumber daya manusia yang memadai. Bulog akan mempersiapkan gudang-gudang di seluruh Indonesia jika harus menjaga stabilitas harga beberapa komoditas. Agusdin menjelaskan, kapasitas gudang-gudang Bulog seluruh Indonesia maksimal 4 juta ton.
Dari jumlah tersebut, 2,3 juta ton diisi beras. Artinya masih ada sisa sekitar 1 juta ton untuk diisi beberapa komoditas lain. ”Tapi berdasarkan pengalaman dulu, gula bisa disimpan di gudang-gudang milik pabrik gula,” katanya. Sebelumnya, Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, pihaknya telah melakukan perhitungan untuk mempersiapkan revitalisasi ini seperti pembangunan infrastruktur berupa gudang penyimpanan sembako.
Dengan direvitalisasi, Bulog pun dapat bertindak sebagai importir sekaligus dapat mengendalikan harga. ”Jadi, tidak ada yang bermain dan berspekulasi. Artinya, impor dikendalikan betul oleh Bulog,” tegas Sutarto. Bulog pun telah melakukan perubahan-perubahan terutama mengenai budaya kerja. Caranya dengan mengadaptasi budaya perusahaan bisnis. (dri)

Jumat, 03 Agustus 2012

Menteri Pertanian Minta Bulog Tidak Impor Beras

Menteri Pertanian, Suswono, meminta Perusahaan Umum Bulog mengoptimalkan penyerapan beras petani untuk menjaga cadangan di akhir tahun. Dengan serapan optimal dan cadangan beras di akhir tahun sesuai target, maka Bulog tidak perlu melakukan impor.

"Cadangan beras pemerintah di Bulog seperti apa. Presiden minta minimal 1,5 juta ton, kalau bisa 2 juta ton beras," kata Suswono di kediamannya, Komplek Menteri Widya Chandra, Jakarta.

Kalaupun harus impor, maka volumenya bisa berkurang. Saat ini, menurut dia, Bulog melaporkan angka moderat cadangan akhir beras bisa mencapai 1 juta ton. Dengan begitu, impor dilakukan dengan volume hanya 500 ribu ton hingga 1 juta ton atau lebih rendah dari impor tahun lalu yang mencapai 2 juta ton beras.

Namun, kata dia, saat ini beberapa sentra produksi beras masih ada yang sedang panen padi, seperti Karawang, Subang, dan Indramayu. Jika serapan Bulog bisa optimal, maka di akhir tahun pasokan beras bisa mencapai 1,5 juta ton beras sehingga Bulog tidak perlu melakukan impor.

"Tapi masalahnya kalau tidak impor, kan, (Bulog) tidak dapat untung. Harga beras di pasar internasional sedang menarik," katanya.

Dia menambahkan, pada dasarnya pemerintah sudah memutuskan memberi ruang bagi Bulog untuk melakukan impor bila tak mampu lagi menyerap beras di dalam negeri secara optimal sebagai upaya menjaga cadangan nasional.

"Tapi harapan saya, mewakili petani, ya Bulog kejar target dululah hingga akhir tahun ini. Jadi, impor sudah pilihan terakhir," katanya.

Kamis, 02 Agustus 2012

Kedelai dan Ketahanan Pangan

Impor komoditas kedelai hanya dikuasai oleh 4-5 pemain besar sehingga mereka bisa mempermainkan harga
BILA mau menguasai suatu bangsa, kuasailah sumber pangannya. Ungkapan ini kian relevan ketika ketahanan pangan kita terusik akibat harga kedelai impor melambung tinggi sehingga perajin tahu dan tempe pun mogok produksi. Jangankan kedelai, beras saja yang merupakan makanan pokok, kita impor. Maka wajar bila kebutuhan pangan kita sangat bergantung pada impor, dan akibatnya ketahanan pangan kita teramat rentan.
Kebutuhan kedelai nasional 2,2 juta ton, sekitar 80% atau 1,6 juta ton dibutuhkan untuk produksi tahu dan tempe. Dengan produksi kedelai dalam negeri hanya 700-800 ribu ton/tahun maka Indonesia harus mengimpor sekitar 1,5 juta ton/ tahun dengan bea masuk 5%.
Pascagonjang-ganjing harga kedelai, yang melonjak dari Rp 5.500 menjadi Rp 8.000/ kilogram, pemerintah memberlakukan kebijakan bea masuk 0% bagi impor kedelai. Akibatnya, Agustus-Desember 2012, negara kehilangan pendapatan Rp 400 miliar. Angka ini berasal dari harga rata-rata kedelai dunia dikalikan dengan jumlah impor yang diprediksi mencapai 2 juta ton. Di pihak lain, petani kedelai lokal makin terimpit dan menjerit. Dengan membanjirnya kedelai impor, petani akan banjir air mata. Lalu siapa yang diuntungkan? Mereka para importir dan pemburu rente.
Pemburu rente juga masih diuntungkan oleh impor beras. Simak saja, Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah masih membuka keran impor untuk memenuhi cadangan beras dan menjaga ketersediaan beras di masyarakat. Kuota impor beras tahun ini 1 juta ton.
Padahal produksi nasional 2012 diprediksi naik 4,3%. Berdasarkan survei BPS akan terjadi surplus 5 juta ton. Bulog sampai hari ini sudah mampu menyediakan 2,5 juta ton. Artinya, 50% dari surplus itu sudah dikuasai Bulog.
Sementara Kementerian Pertanian menaikkan target produksi beras tahun ini menjadi 41 juta ton atau setara 74,1 juta ton gabah kering giling (GKG), naik 7,9% dari target semula yang diperkirakan 38 juta ton atau setara 70,6 juta ton GKG. Kenaikan produksi dilakukan sebagai upaya mengejar target swasembada tahun 2014 dan surplus beras 10 juta ton dalam 5-10 tahun mendatang. Untuk mendukung capaian itu, Kementerian Pertanian mendapat subsidi pangan Rp 41,9 triliun.
Bertolak Belakang
Pengadaan beras tahun ini hingga Juli 2,5 juta ton dan ditargetkan hingga akhir tahun 3 juta ton. Tahun lalu, pengadaan beras hanya 1,8 juta ton. Mengapa kebijakan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan saling bertolak belakang? Itu semua karena ada kepentingan para pemburu rente. Tak peduli apakah ketahanan pangan kita terancam atau tidak.
Saat ini ketahanan pangan kita masih sangat rentan. Ini terbukti dengan terdampaknya kita oleh kekurangan pasokan kedelai dari Amerika Serikat karena dilanda kekeringan. Untuk kebutuhan gula, kita juga masih tergantung pada impor. Kebutuhan gula nasional hanya mampu dipenuhi 60% oleh produksi lokal, selebihnya (40%) impor.
Ironisnya, dalam mengatasi masalah ketahanan pangan ini pemerintah terkesan instan. Untuk kedelai misalnya, pemerintah memberlakukan bea masuk 0%. Tentu tidak arif karena berdampak buruk bagi petani lokal. Masih soal kedelai, pemerintah tak berusaha, atau setidaknya tak berdaya, memberantas kartel. Impor kedelai hanya dikuasai oleh 4-5 pemain besar sehingga mereka bisa mempermainkan harga.
Pemerintah juga tak berusaha menambah luas areal pertanian, bahkan membiarkannya terus menyusut tiap tahun. Di Karawang Jabar yang merupakan lumbung padi nasional, tiap tahun 300 hektare lahan pertanian hilang. Seluas 800 hektare lahan pertanian beralih fungsi menjadi perumahan/ industri.
Indonesia, akibat tekanan IMF tahun 1998, telah melepaskan proteksi terhadap 9 bahan pokok dan menyerahkannya ke mekanisme pasar. Saat ini Indonesia hanya memproteksi satu bahan pokok, yakni beras. Padahal Malaysia memproteksi 30 jenis bahan pokok. Inilah yang juga menjadikan ketahanan pangan kita rentan.