Akhirnya pemerintah mengumumkan akan mengimpor 1
juta ton beras (Kompas, 21 September 2012). Keputusan itu diambil setelah
mempertimbangkan stok akhir Bulog tahun ini rendah (hanya 1 juta ton) dan
cadangan beras dinaikkan jadi 2 juta ton.
Niat impor beras telah lama dicanangkan
pemerintah. Tidak lama setelah diangkat menjadi Menteri Perdagangan, Gita
Irawan Wirjawan—pada Februari 2012—menyatakan bahwa Indonesia akan mengimpor 2
juta ton beras. Pernyataan itu dikutip oleh media dalam dan luar negeri.
Alasannya sederhana. Harga di pasar internasional
lagi murah, hanya 400 dollar AS per ton untuk beras kualitas premium dan
kebutuhan beras Indonesia terus meningkat. Lazimnya, pernyataan impor beras
dihindari pada awal tahun karena—masih bulan Februari—baru mulai panen raya.
Bulog pun sedang giat-giatnya menyerap beras dari produksi dalam negeri.
Stok akhir tahun Bulog adalah penjumlahan stok
awal tahun, ditambah pengadaan dikurangi jumlah penyalurannya. Pengadaan dalam
negeri ditargetkan tinggi, tetapi realisasinya selalu rendah karena laju
pertumbuhan produksi gabah akhir-akhir ini kurang stabil. Penyebab utamanya:
infrastruktur irigasi yang buruk, konversi lahan sawah yang sulit dibendung,
serta perubahan iklim. Di pihak lain, tanpa mengindahkan hal itu, pemerintah
memperbesar penyaluran beras Bulog. Hal ini sulit dipenuhi dari produksi dalam
negeri.
Beras Bulog dominan diperuntukkan buat program
beras untuk orang miskin (raskin) dan penyaluran cadangan beras pemerintah,
terutama untuk operasi pasar dan situasi darurat. Penyaluran beras untuk
program raskin, sejak 2008, sangat besar. Rata-rata 3,2 juta ton per tahun.
Padahal, efektivitas raskin dalam pengendalian harga beras relatif rendah bila
dibandingkan dengan intervensi pasar beras kualitas premium/super.
Akan tetapi, karena jumlah raskin sangat besar
(10-12 persen dari total konsumsi bulanan), secara tak langsung dapat meredam
laju kenaikan harga beras. Namun, biayanya tinggi dan sering konflik dengan
tujuan lain, khususnya diversifikasi pangan, target menurunkan tingkat konsumsi
beras 1,5 persen per kapita per tahun.
Terjebak target raskin
Semakin besar volume raskin semakin tinggi
kandungan beras impor dalam program raskin. Selama periode 2000-2011, misalnya,
peran raskin terhadap pengadaan dalam negeri rata-rata 110 persen per tahun.
Artinya, penyaluran raskin melebihi 10 persen per tahun, di atas kemampuan
pengadaan dalam negeri. Pada 2011 malah mencapai 194 persen. Karena pengadaan
dalam negeri sangat rendah dan pertumbuhan produksi negatif, impor beras pun
mencapai 2,2 juta ton, tertinggi sejak 2004. Selain itu, banyak pemerintah
daerah yang menolak beras impor yang disalurkan melalui program raskin.
Kekisruhan ini akan terus bergulir sehingga akan menurunkan dukungan politik/publik
terhadap program raskin.
Penyaluran cadangan beras pemerintah hanya
sekitar 300.000 ton per tahun, tentu tak sebanding dengan volume raskin seperti
yang telah disebutkan di atas. Kalau cadangan beras pemerintah diperbesar
menjadi 2 juta ton dengan beras kualitas raskin, itu tidak akan efektif untuk
intervensi pasar, apalagi untuk bantuan internasional dan mengisi cadangan
beras darurat ASEAN. Agar efektif, pemerintah perlu mengimpor beras kualitas
super/premium.
Kita telah terjebak dengan target memperbesar
volume raskin dan meningkatkan CBP kualitas rendah (beras medium). Sudah
saatnya pemerintah meninjau ulang program raskin agar dikembalikan ke tujuan
awal, yaitu menguatkan ketahanan pangan rumah tangga miskin. Kalau itu dipilih,
volume raskin perlu dikurangi hingga paling banyak 2 juta ton per tahun.
Cadangan beras pemerintah pun perlu ditata ulang. Cadangan sebesar 2 juta ton
haruslah diisi secara bertahap dengan beras kualitas premium/super yang berasal
dari pengadaan dalam negeri. Tanpa kedua usaha itu, kita pasti terjebak dengan
impor beras