PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: 06/10/12

Minggu, 10 Juni 2012

2,1 Juta ton beras petani terserap

Menteri Pertanian Suswono menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan penyerapan beras pada petani sebanyak 2,1 juta ton sebagai upaya mencukupi kebutuhan pangan. "Idealnya,penyerapan beras mampu mencapai tiga juta ton per tahun. Akan tetapi, dengan penyerapan beras sebesar 2,1 ton masih mampu mencukupi kebutuhan pangan," kata Menteri Pertanian Suswono di Pekalongan, Jawa Tengah, Sabtu. Menurut dia, dengan ketercukupan kebutuhan pangan ini maka pemerintah belum perlu melakukan impor beras karena produksi beras masih bisa dicukupi di dalam negeri. "Impor beras bisa dilakukan jika kondisi sudah mendesak dan tidak bisa dihindari lagi. Akan tetapi saat ini kami belum perlu melakukan impor beras," katanya. Dia mengatakan bahwa produksi beras pada 2012 ini lebih baik jika dibanding tahun sebelumnya karena para petani diungtungkan pada kondisi iklim yang lebih normal. "Akan tetapi kami meminta para petani tetap waspada terhadap ancaman El Nino yang bisa menghambat peningkatan produksi beras. Selain itu, kami juga mengajak para petani menanam padi secara serempak sebagai upaya mengantisipasi serangan hama," katanya. Menteri juga mengatakan bahwa pemerintah tidak akan menaikan harga pupuk sebagai upaya membantu para petani untukmeningkatkan produksi padi. "Laporkan saja bila masyarakat menjumpai adanya kenaikan harga pupuk karena pada tahun ini pemerintah memastikan tidak menaikan barang penyubur tanaman itu," katanya

Bongkar tak Dilengkapi PIB Puluhan Ton Beras Impor Terancam Disita

Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean Kota Dumai menegaskan akan mensita puluhan ton beras tanpa dokumen impor sebagai barang milik negara (BMN), jika Perusahaan importir tidak dapat menunjukan PIB (Pemberitahuan Impor Barang) yang disetujui oleh Menteri Perdagangan. Penegasan itu disampaikan Kepala Kantor KPPBC Dumai, Dwi Teguh Wibowo melalui Kasi Penindakan dan Penyidikan, Nurhayyin kepada Dumai Pos diruang kerjanya, Rabu (16/5) lalu. ‘’Impor beras yang dilakukan oleh pihak rekanan di luar Perum Bulog harus disertai dokumen PIB yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan. Tanpa itu (dokumen PIB,red) maka kita anggap ilegal,’’ katanya. Statemen itu diungkapnya menyusul telah diamankan BC Dumai puluhan ton beras impor yang dibawa dari Malaysia oleh perusahaan importir di pelabuhan rakyat, Selasa (15/5) pagi lalu. Berdasarkan sampel beras yang ditunjukan pejabat ini kepada Dumai Pos secara fisik beras itu berwarna putih bersih dengan kondisi bulir patah-patah. Nurhayyin mengatakan bahwa setakat ini pihaknya belum menetapkan status barang tersebut. Pihak BC katanya masih memberikan kesempatan kepada perusahaan importir untuk melengkapi dokumen impor barang. Setakat ini kata Ayin begitu pejabat BC ini akrab disapa puluhan ton beras tersebut tersimpan di Gudang dibawah pengawasan BC Dumai. ‘’Dalam ketentuannya mereka punya waktu 60 hari untuk melengkapi dokumen PIB itu, tanpa dokumen itu maka beras tidak akan kita keluarkan,’’tukasnya. Terpisah Kabid Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Dumai, Kamaruddin BcKn saat dikonfirmasi Dumai Pos diruang kerjanya membenarkan bahwa dalam ketentuan ekspor impor beras sebagaimana tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 06/M-DAG/PER/2/2012 tentang ketentuan impor dan ekspor, beras bukan jenis komoditi yang bisa dimpor atau diekspor secara bebas. Sama halnya dengan gula, katanya beras juga termasuk komoditi yang ketentuan impor ekspornya diatur oleh Pemerintah. ‘’Beras dapat diimpor diluar masa satu bulan sebelum masa panen raya salah satu tujuannya untuk melindungi petani beras dalam negeri,’’ katanya Demikian juga dengan perusahaan pengimpor beras itu lanjut pejabat Disperindag ini merupakan perusahaan yang terdaftar di Kementerian Perdagangan. ‘’Yang selama ini terdaftar diantaranya hanya PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia) dan Perum Bulog,’’ katanya. Kendati demikian dia tidak menafikan bahwa perusahaan diluar PPI dan Perum Bulog dapat melakukan kegiatan impor beras asalkan mendapatkan persetujuan dari pemerintah yang dibuktikan dengan dokumen PIB yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan. ‘’Boleh saja diimpor selain dari Perum Bulog, namun harus mendapatkan persetujuan dari Mendag,’’ paparnya. Sementara itu Kepala Subdivre Bulog Wilayah Dumai, Farouq Octobery Qomari mengecam lambatnya proses penanganan beras ilegal tersebut. Menurutnya pihak yang berwenang dalam hal ini BC Dumai harus berani mengambil langkah hukum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. ‘’Untuk beras impor dari Malaysia yang dilakukan pihak swasta jika hal tersebut ilegal, ya harus diperlakukan sebagaimana ketentuan yang berlaku di Negara Indonesia,’’ ungkapnya sebagaimana disampaikan lewat pesan singkatnya kepada Dumai Pos Rabu (16/5). Dia menambahkan bahwa semua beras impor yang masuk ke wilayah Indonesia harus sudah lengkap adminitrasi dan memenuhi ketentuan kepabeanan serta bebas dari hama penyakit agar tidak mempengaruhi kesehatan konsumen. ‘’Selain kelengkapan dokumen tentunya juga sudah lolos pemeriksaan Kantor karantina tanaman dan tumbuhan agar tidakd mempengaruhi kesehatan konsumen,’’ tandasnya.(men)

Menghemat Beras di Republik Nasi

BISAKAH Indonesia bebas dari impor beras dan menghemat triliunan rupiah setiap tahun untuk membiayai pembelian bahan pangan pokok itu dari berbagai negara di dunia? Pertanyaan itu memang patut terus menerus didengungkan, karena ‘’kebiasaan’’ impor itu akan memasukkan kita pada perangkap berbagai krisis selanjutnya. Faktanya, negeri ini memang pengimpor beras terbesar di dunia. Data BPS menyebutkan, hingga September 2011, Indonesia impor 1,62 juta ton beras dari berbagai negara, dan harus merelakan devisa Rp 8,5 triliun melayang. Data BPS terbaru, dalam triwulan pertama tahun ini, kita mengimpor beras sebanyak 770,3 ribu ton senilai 420,7 juta dolar AS, atau Rp 3,8 triliun. Berbagai kritis akan menyusul kemudian. Pertama, ketika kita tidak lagi punya kemampuan untuk membeli beras itu, karena cadangan devisa yang semakin tipis, ketika hasil bumi telah semakin terkuras, hutan-hutan telah semakin gundul dan kerontang. Dan kedua, ketika terjadi krisis pangan dunia, saat mana negara-negara yang semula mengekspor beras ke negeri ini lebih mementingkan ketahanan pangan dalam negeri masing-masing. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi impor beras negeri ini. Selain tingkat konsumsi per kapita beras memang tertinggi di dunia, faktor lain adalah alih fungsi lahan sawah untuk kepentingan lain, seperti perumahan, jalan, fasilitas umum, dan sebagainya. Majalah Asiaweek edisi Mei 2001 mengungkapkan, 90 persen produksi beras dunia dikonsumsi orang Asia. Setiap tahun rata-rata orang Asia mengonsumsi 86 kg beras, orang Amerika 9 kg, Eropa 4 kg. Di antara warga Asia itu, orang Indonesia merupakan konsumen terbesar, dengan tingkat konsumsi beras per kapita per tahun sebanyak 168,9 kg, disusul kemudian oleh Thailand (153,1 kg), Filipina (111,1 kg), serta China (107,4 kg). Makin Rakus Bisa dibayangkan, dengan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar itu, dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa di tahun 2012 ini, negeri ini ibarat raksasa yang rakus beras. Karena itu, sebutan Republik Nasi pun pantas-pantas saja diberikan bagi negeri ini. Bagaimanakah dengan kondisi lima tahun ke depan? Atau, 10 tahun ke depan? ‘’Si raksasa’’ ini semakin rakus menghabiskan beras. Maka, gerakan hemat konsumsi beras adalah hal yang paling logis dilakukan. Mengapa (harus) beras? Pada era pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, beras sangat dipopulerkan sebagai ‘’komoditas politik’’. Kondisinya kurang lebih seperti BBM saat ini. Tentu ada latar belakangnya. Kondisi Indonesia awal Soeharto berkuasa diwarnai krisis ekonomi dan pangan. Pangan benar-benar sulit didapat saat itu. Karena itu, program pembangunan yang diprioritaskan adalah pemenuhan pangan, khususnya bahan pangan pokok beras. Program modernisasi pertanian, yang dikenal dengan revolusi hijau, digencarkan. Terlepas dari berbagai dampak sosial dan lingkungan dari revolusi hijau yang masif ini, Indonesia berhasil mendongkrak produksi berasnya. Tahun 1986 negeri ini berhasil swasembada beras. Pak Harto mendapatkan penghargaan dari FAO. Pihak Barat pun senang, karena premisnya kecukupan menjadi senjata yang ampuh untuk melawan komunisme. Karena produksi beras menjadi pamor ukuran keberhasilan dalam pangan, maka produksi yang tinggi pun diikuti oleh konsumsi beras yang meningkat pula. Masyarakat dari daerah-daerah yang semula bahan pangan pokoknya bukan nasi (ubi, sagu, singkong) menjadi turut mengonsumsi nasi pula. Demikian pula berbagai daerah di Jawa, yang biasa mengombinasi nasi (jagung atau nasi), atau ketela, menjadi penuh mengonsumsi nasi. Akibatnya, makanan-makanan pokok lokal itu berubah posisinya menjadi makanan klangenan. Dengan latar belakang seperti itu, masihkah ada peluang untuk mengurangi konsumsi beras, baik secara individual (per kapita) maupun secara agregat? Peluang itu sangat terbuka, dengan menggarap ranah pengetahuan/ pemahaman (mind-set) masyarakat, serta secara bersamaan mengembangkan ranah pengolahan pangan, yang menjadikan sumber-sumber karbohidrat lain yang semula tidak populer bisa semakin diminati masyarakat.