PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: 08/08/12

Rabu, 08 Agustus 2012

Kontroversi Rencana Impor Beras

BEBERAPA hari terakhir media ramai memberitakan tentang rencana pemerintah mengimpor beras. Rencana itu dilakukan di tengah produksi beras surplus dan serapan Bulog optimal (SM, 23/07/12). Sudah tentu kebijakan ini pantas untuk digugat dan diperdebatkan.
Rencana impor beras kali pertama mencuat saat Kementerian Perdagangan Kamboja melalui situs Oryza News menyatakan bahwa Indonesia akan membeli 100.000 ton beras dari Kamboja. Nota kesepahaman akan ditandatangani pada Agustus. Sungguh hal ini sangat kontroversial mengingat belum lama berselang BPS melansir data angka ramalan (Aram) produksi padi nasional 2012.
Menurut Aram BPS produksi padi nasional 2012 mencapai 68,59 juta ton gabah kering giling (GKG). Angka itu diperoleh dari produksi riil Januari hingga April 2012 ditambah perkiraan produksi Mei-Desember 2012. Angka produksi itu meningkat 4,31% dibanding tahun lalu yang 65,76 juta ton GKG.
Jika ramalan produksi padi 68,59 juta ton GKG terealisasi, nominal tersebut akan setara dengan 38.563 juta ton beras. Dengan asumsi konsumsi beras penduduk 135,01 kilogram/kapita/tahun maka kebutuhan beras nasional mencapai 33.035 juta ton. Akhir tahun 2012 terjadi surplus produksi beras 5,5 juta ton.
Kontroversi rencana impor beras ini sangat wajar karena tak ada satu pun alasan pembenar bagi pemerintah untuk panen beras di pelabuhan (baca: impor). Di samping prediksi produksi beras nasional tahun ini bagus, capaian prestasi pengadaan beras dalam negeri oleh Bulog juga cukup menggembirakan. Dari prognosa pengadaan beras 2012 sebesar 3 juta ton, saat ini telah terealisasi 2,5 juta ton. Angka penyerapan beras petani oleh Bulog ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka penyerapan tahun lalu yang hanya 1,8 juta ton.
Satu hal yang juga perlu dipertanyakan, rencana impor beras kali ini tidak didahului dengan kajian akademis yang memadai. Memang, dari perhitungan waktu sejak dikeluarkan Aram produksi beras BPS masih menyisakan waktu 6 bulan hingga akhir 2012. Sepanjang beberapa bulan ke depan kita akan memasuki musim kering. Namun kita belum pernah mendengar sinyal dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyatakan bahwa musim kering kali ini sangat ekstrem, atau terdapat kondisi ekstrem lain yang mengharuskan pemerintah mengimpor beras.
Revitalisasi Pertanian
Rencana impor beras di tengah melimpahnya produksi di dalam negeri, serta tidak adanya kondisi darurat yang mengharuskan impor, menjadi bukti betapa penentu kebijakan pangan di negeri ini masih terjangkiti penyakit myopic. Selalu memandang peran pangan dalam domain sempit dan horizon pendek. Mengabaikan pentingnya kemandirian pangan karena akses impor sangat mudah dilakukan.
Akibat lebih jauh, meski sumber daya alamnya melimpah, Indonesia mencatatkan defisit neraca perdagangan komoditas pertanian, yang sangat menyedihkan ketika peningkatannya 200 kali lipat hanya dalam waktu kurang dari 6 tahun. Data Bappenas tentang neraca perdagangan komoditas pertanian Indonesia menyebutkan tahun 2006 terjadi defisit 28,03 juta dolar AS. Angka nominal defisit neraca perdagangan tersebut membengkak menjadi 5,509 miliar dolar AS pada 2011.
Menurut catatan BPS, hingga semester pertama 2011 impor pangan negara kita mencapai 6,35 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 57 triliun. Devisa sebesar itu dapat digunakan untuk membangun sebuah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah selama lebih dari 57 tahun. Saat ini rata-rata APBD kabupaten/ kota sekitar Rp 1 triliun/tahun. Ironis memang.
Untuk mencegahnya hal itu terjadi program revitalisasi pertanian harus benar-benar dilakukan dengan kegiatan yang lebih membumi. Antara lain dengan membangun dan memperbaiki berbagai sarana infrastruktur pertanian dan perdesaan, memperbesar akses permodalan dan kredit petani, pengembangan riset teknologi di bidang pertanian, memberikan perlindungan pasar kepada petani, dan mempercepat pelaksanaan reformasi agraria.

Kapasitas Gudang Bulog 4 Juta Ton

Sebanyak 2,3 Juta Ton Diisi Beras, Sisanya Bisa untuk Komoditas Lain

JAKARTA – Pemerintah hingga saat ini masih mengkaji rencana pemberian wewenang kepada Perum Bulog untuk mengelola bahan pangan selain beras. Rencananya, perluasan wewenang bagi Bulog ini akan diputuskan pada 30 Agustus 2012 mendatang. Tim yang dibentuk oleh Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa akan memutuskan skema penunjukan Bulog untuk menjaga stabilisasi harga 4 komoditas, yaitu beras, jagung, kedelai, dan gula.
”Kami masih tunggu keputusan pemerintah. Saat ini tim pemerintah masih membahasnya,” kata Direktur Pelayanan Publik Bulog, Agusdin Faried di Jakarta kemarin (6/8). Dia menuturkan, belakangan ada usulan Bulog juga diberi tugas dalam stabilisasi harga daging sapi. ”Ada wacana itu, tapi sekali lagi kami tunggu penunjukan pemerintah,” katanya.
Dia menurutkan, rencana revitalisasi Bulog sebagai stabilisator harga bahan pokok harus didukung beberapa instrumen. Yakni infrastruktur, payung hukum yang jelas, dan sumber daya manusia yang memadai. Bulog akan mempersiapkan gudang-gudang di seluruh Indonesia jika harus menjaga stabilitas harga beberapa komoditas. Agusdin menjelaskan, kapasitas gudang-gudang Bulog seluruh Indonesia maksimal 4 juta ton.
Dari jumlah tersebut, 2,3 juta ton diisi beras. Artinya masih ada sisa sekitar 1 juta ton untuk diisi beberapa komoditas lain. ”Tapi berdasarkan pengalaman dulu, gula bisa disimpan di gudang-gudang milik pabrik gula,” katanya. Sebelumnya, Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, pihaknya telah melakukan perhitungan untuk mempersiapkan revitalisasi ini seperti pembangunan infrastruktur berupa gudang penyimpanan sembako.
Dengan direvitalisasi, Bulog pun dapat bertindak sebagai importir sekaligus dapat mengendalikan harga. ”Jadi, tidak ada yang bermain dan berspekulasi. Artinya, impor dikendalikan betul oleh Bulog,” tegas Sutarto. Bulog pun telah melakukan perubahan-perubahan terutama mengenai budaya kerja. Caranya dengan mengadaptasi budaya perusahaan bisnis. (dri)