PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: 09/07/12

Jumat, 07 September 2012

“Anomali Cuaca”, Picu Impor Beras

Berita “Anomali Cuaca” berupa kekeringan yang melanda hampir di seluruh Provinsi Indonesia terutama NTT, NTB, dan beberapa daerah di Pulau jawa cukup membuat opini publik berkesimpulan bahwa produksi pertanian khususnya pangan (beras) akan menurun jauh. Memang benar, mulai bulan Juli-September ini, sangat susah untuk menikmati suasana hujan, karena kita secara klimatologi lagi memasuki musim kemarau.

Pengalaman selama ini menunjukkan dimasa tanam padi yang kedua (periode mei-agustus) persoalan kekurangan air menjadi masalah utama, sehingga pada masa tanam kedua ini produktifitas beras sangat minim. Sepengetahuan penulis pada bulan-bulan inilah pemerintah biasanya menyatakan perlunya impor beras. Bulan ini pemerintah telah melakukan MoU untuk impor beras dengan kamboja dengan alasan Anomali Cuaca. Kalau dilihat sekilas, alasan yang dipakai cukup masuk akal.

Mari kita lihat lebih dalam, awal tahun ini (bulan maret) pemerintah mengeluarkan Inpres no 3 tahun 2012 tentang kebijakan perberasan khususnya penentuan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras. Pemerintah menaikkan HPP sebesar 27 % dari HPP sebelumnya yang tidak naik-naik mulai dari keluarnya inpres No 7 tahun 2009. Penyerapan Bulog sampai juli yang sudah mencapai 2 juta ton didongkrak oleh kebijakan HPP yang keluar secara telat, dimana panen raya sudah dimulai bulan februari. Dalam hal ini keluarnya inpres No 3 tahun 2012 cukup efektif digunakan oleh Bulog pada panen raya pertama.

Situasi ini berubah setelah memasuki masa panen kedua per juli-agustus ini, momentum puasa dan lebaran membuat Bulog tidak mampu melakukan penyerapan karena harga-harga sudah diatas HPP. Tentu jika memaksa melakukan pembelian akan melanggar inpres, alias siap-siap masuk penjara. Maka solusinya, impor beras dijadikan taktik yang paling tepat menjembatani masalah ini. Momentum musim kemarau dijadikan waktu yang paling tepat bagi para mentri terkait untuk berstatemen perlunya impor beras.

Dalam pandangan penulis, sebenarnya dengan luas lahan yang ada di Indonesia dan laporan dari produktifitas padi tahun ini, sebenarnya tidak perlu impor. Problem harga beras yang sudah diatas HPP dan semakin sulit diakses oleh masyarakat miskin, lebih kepada permasalahan carut marutnya kebijakan perberasan Indonesia. Produksi sebenarnya cukup, tetapi pengendalian harga tidak tidak di kontrol oleh pemerintah, dalam hal ini sebenarnya peran pengusaha besar yang bergerak dalam perberasan menjadi sangat penting. Seandainya saja distribusi beras itu berjalan secara wajar dan lancar. Penulis yakin harga akan tetap stabil. Tetapi sangat wajar, para pengusaha besar mencari untung, karena tujuan mereka memang mencari untung. Dalam hal ini tinggal bagaimana sebenarnya pemerintah menyikapi hal ini melalui regulasi perberasan.

Harga Beras tidak bisa di serahkan kepada mekanisme pasar, hal ini sangat riskan, mengingat ada 243 juta penduduk Indonesia tiap hari makan nasi. Ketika beras hanya dikuasai oleh pengusaha besar, maka akan sangat berbahaya terhadap stabilitas harga beras. Bisa saja berasnya cukup, karena ada keinginan untuk mencari untung, maka dilakukan penimbunan beras yang menyebabkan langka dan akhirnya konsumen sangat dirugikan.

Sekali lagi, penulis mengingatkan. Situasi kekeringan (”anomali cuaca”) yang terjadi tahun ini seharusnya dijadikan pelajaran untuk membenahi sistem manajemen air di Indonesia, bukan dijadikan alasan untuk melakukan impor. Mekanisme perlindungan harga kepada konsumen dan produsen harus dirubah, perlu kebijakan yang lebih adil kepada produsen dan bisa diakses oleh konsumen.

Mudah-mudahan situasi kekeringan di musim kemarau ini bisa menjadi pelajaran bersama bagi kita semua. Media juga harus lebih berhati-hati dalam hal pemberitaan, agar publik tidak merasa khawatir akan kelangkaan beras, sehingga menguntungkan sebagian spekulan beras untuk memanfaatkan psikologi pasar dengan cara menaikkan harga beras.