PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: Februari 2013

Sabtu, 16 Februari 2013

SIMALAKAMA POLITIK BERAS

Harga beras yang naik 30 persen pekan ini sebenarnya merupakan akumulasi kenaikan 100 persen selama lima tahun terakhir. Ini adalah "buah simalakama politik beras". Impor beras diprotes, tidak impor harga naik, rakyat miskin pun bertambah. 

Ironisnya, pertambahan populasi rakyat miskin hasil survei Bank Dunia itu justru terjadi pada petani. Lebih ironis lagi, petani padi menjadi miskin hingga tidak bisa membeli beras. 

Sejak "revolusi hijau" tahun 1960-an, pola budidaya petani berubah dari subsisten ke modern. Namun, perubahan pola tanam ini tidak disertai perubahan pola pikir. Pemerintah maupun petani padi Indonesia masih berpola pikir subsisten. 

Petani berpola pikir subsisten menanam padi secara tradisional, untuk kepentingan keluarga sendiri. Untung atau rugi tidak masalah. Sistem pertanian modern, berupa lembaga petani, lembaga penyimpan data, lembaga pemberi kredit, dan lembaga asuransi, tidak pernah terbangun di Indonesia. Pola pikir subsisten hanya berpatokan pada satu komoditas, yakni padi. Padahal, lahan di Jawa sudah terlalu mahal untuk menanam padi. 

Pemerintah dan politisi Indonesia juga berpola pikir subsisten. Mereka berpolitik dan memerintah negeri secara tradisional, untuk kepentingan "keluarga sendiri". Ketika Megawati menjadi presiden, para politisi Golkar paling sering berkomentar tentang "kebijakan perberasan nasional". Belakangan, politisi PDI-P lebih gencar menentang impor beras. Itulah politik subsisten. Cara berpikir politisi masih seperti cara berpikir petani. 

Mengapa naik?
 
Kenaikan harga minyak bumi dan gas alam selama lima tahun terakhir paling dominan dalam menaikkan harga beras. Sebab, pupuk urea dan ZA berbahan baku gas alam. Naiknya harga gas alam akan menaikkan harga pupuk urea. 

Sejak revolusi hijau, ketergantungan petani pada urea begitu tinggi. Urea menuntut benih dari breeder profesional, yang harus terus dibeli petani. 

Dalam kondisi susah, petani cenderung membuat benih dari gabah hasil panen sendiri. Otomatis hasil dari benih F2, F3, F4, dan seterusnya terus menurun. Petani mengira padi kekurangan pupuk urea sehingga menambah dosis pemupukan. Akibatnya, tanah dan air di Jawa amat tercemar N (nitrogen). Benih buatan petani sendiri tidak pernah responsif terhadap urea, produktivitas padi terus menurun.
Di lain pihak, mulai ada kesadaran dari sebagian besar petani untuk kembali menanam padi lokal secara organik. Pendapatan petani memang naik. Tetapi, secara nasional, produksi padi menurun. Pengalihan fungsi lahan sawah di Jawa untuk jalan, bangunan, dan sarana umum lainnya juga ikut menurunkan produktivitas beras nasional. Khusus kenaikan harga beras belakangan ini, dipicu kemarau amat pajang. 

Dilema impor
 
Sebenarnya, impor beras adalah hal yang amat biasa. Jika stok yang dikuasai pemerintah menipis, harus impor untuk operasi pasar. Jika tidak, rakyat akan kelaparan. Tetapi, setiap kali pemerintah berniat mengimpor beras, selalu ada protes, bahkan DPR sempat berkeinginan menggunakan hak angket dan hak interpelasi. Sebab, beras bukan hanya komoditas ekonomi, melainkan juga komoditas politik. 

Anehnya, selama ini tidak pernah ada pihak yang mempermasalahkan kemungkinan terjadinya korupsi dalam pengadaan beras. Padahal, beberapa waktu lalu, aparat keamanan dan bea cukai telah menemukan bukti-bukti penyimpangan. Beberapa kapal tertangkap tangan membawa beras dari Thailand dan Vietnam, tanpa dokumen lengkap. Karena beras merupakan komoditas politik, maka penolakan impor selalu dikaitkan dengan nasib petani. Bukan dugaan adanya korupsi. 

Padahal, petani kita tidak pernah sedikit pun diuntungkan jika harga beras naik. Mereka justru celaka karena tidak kuat membeli beras. Sebab, begitu padi menguning, tengkulak berdatangan ke sawah membeli gabah. Mengapa Bulog tidak pernah mampu membeli gabah petani untuk stok nasional? Sebab, harga dasar gabah yang ditawarkan Bulog jauh lebih tinggi dari harga tengkulak. Efisiensi petani padi kita juga diragukan, sementara proteksi pemerintah kurang. 

Politisasi petani
 
Sebenarnya, yang menjadi komoditas politik di Indonesia bukan hanya beras, tetapi juga petaninya sendiri. Petani dan buruh adalah sasaran empuk politisi subsisten untuk menggalang massa. 

Pemberian wadah tunggal Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), awalnya merupakan depolitisasi petani. Sebab, macam-macam organisasi tani untuk tujuan politik dilebur menjadi satu wadah tunggal nonpolitik. Tetapi, kemudian HKTI lebih banyak menjadi alat politik dibandingkan organisasi yang menyejahterakan petani. 

Petani padi di Indonesia lalu tergolong warga negara paling miskin. Paling tidak jika dibandingkan petani hortikultura dan komoditas perkebunan. Padahal, beras adalah makanan pokok negeri ini. Memang sudah ada pergeseran pola konsumsi dari nasi ke mi dan roti. Namun, persentasenya masih amat rendah. Sebagian besar masyarakat kita tetap mengonsumsi nasi. 

Kenaikan harga beras belakangan ini dikhawatirkan baru awal. Sebab, banyak yang gagal panen karena banjir. Selama itu, stok beras yang dikuasai Bulog akan habis. 

Pemerintah, yang masih berpolitik secara subsisten, akan menghadapi dilema. Impor beras ditentang, tidak impor harga beras akan menggila. Bak buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak mati. Tetapi, pepatah itu kini sudah diganti. Dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak berpoligami.