PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: 07/25/12

Rabu, 25 Juli 2012

Rencana Impor Beras: Wujud Inkonsistensi

Sejak Kamis, 19 Juli 2012, beredar kabar di media massa bahwa Indonesia akan mengimpor beras tahun ini. Konon sampai satu juta ton (Detik Finance, 19 Juli 2012). Argumen yang disampaikan Pemerintah, dalam hal ini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, rencana impor sebesar satu juta ton itu untuk cadangan saja agar mencapai dua juta ton. Pemerintah berupaya menaikkan cadangan beras yang dikelola Bulog karena dikhawatirkan terdapat kekeringan ekstrem El-Nino dan gangguan lain yang akan melanda tahun 2012 ini.

Rencana impor beras tersebut tampak semakin nyata ketika situs Oryza News memberitakan bahwa Indonesia akan membeli beras dari Kamboja sebanyak 100 ribu ton (Kompas, 20 Juli 2012). Produksi beras Kamboja tahun 2012 diperkirakan naik enam persen, sehingga mencapai 2,7 juta ton, karena cuaca yang cukup bersahabat di sana. Recnana impor beras itu tentu menuai reaksi keras dari masyarakat karena angka ramalan produksi beras Indonesia tahun 2012 mencapai 68,6 juta ton gabah kering giling (GKG). Dengan menggunakan angka konversi 0,57, produksi beras tahun 2012 mencapai 39,1 juta ton beras. Artinya, Indonesia masih akan mengalami surplus beras hampir enam juta ton, jika angka konsumsi dihitung dengan batas atas 139,15 kg per kapita dengan jumlah penduduk mencapai 240 juta jiwa.

Setelah menjadi berita besar dan mendapat kecaman dan reaksi keras dari masyarakat, Pemerintah kemudian secara serempak membantah rencana impor beras tersebut (Kompas, 21 Juli 2012). Apakah benar Indonesia akan melakukan impor beras tahun ini, ujian pertama yang harus dilalui adalah musim kering bulan Juli-September ini, yang secara kebetulan bersamaan dengan lonjakan konsumsi pangan yang besar karena Ramadan dan Idul Fitri.

Mengapa masyarakat Indonesia meningkatkan konsumsi pangan pada bulan suci penuh rahmah bagi umat Islam, tentu merupakan tema studi lain yang mungkin lebih menarik. Lonjakan harga beberapa pangan pokok sampai 30 persen adalah fakta tersendiri yang harus dipecahkan, bahwa stok pangan tidak boleh langka, apalagi sampai kehabisan. Beruntung bahwa Pemerintah telah menjamin bahwa stok dan pasokan pangan pokok seperti beras, gula, minyak goreng, cabai, tepung terigu dan lain-lain akan aman sampai setelah Idul Fitri atau pada periode Agustus-September.

Apabila kenaikan harga dapat dikendalikan tidak terlalu liar, maka stok pangan di dalam negeri memang benar-benar aman. Khusus beras, panen raya bulan April-Mei yang lalu akan sangat menentukan kinerja pengadaan dan stok beras yang dikelola Bulog. Pada kondisi normal, Perum Bulog mampu melakukan pengadaan gabah di dalam negeri, dengan cara membeli gabah petani sesuai dengan harga pembelian pemerintah (HPP) yang berlaku. Bulog kemudian menyimpan beras tadi menjadi cadangan beras pemerintah (CBP), cadangan penyanggah dan cadangan lain yang digunakan untuk operasi pasar dan subsidi beras untuk keluarga miskin (raskin). Manajemen stok beras menjadi jargon wajib karena sistem produksi beras di Indonesia cenderung menumpuk (65 persen) pada musim tanam rendeng atau musim panen raya Maret-April.

Bulog yang menjadi pelaksana kebijakan ketahanan pangan seperti sekarang, tentu cukup sulit untuk menjalankan fungsi-fungsi strategisnya, apalagi untuk menjadi referensi bagi perjalanan ketahanan pangan Indonesia. Bahkan, kekhawatiran masyarakat tentang pemihakan pemerintah kepada petani dan rakyat miskin lain justeru semakin beasr, jika mengacu pada esensi dari kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP), seperti pada versi terakhir Inpres 3/2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Pada kebijakan terbaru bidang perberasan tersebut nyaris tidak terdapat fungsi strategis dalam menjaga dan membangun ketahanan pangan Indonesia, sangat jauh jika dibandingkan dengan konsep price-band policy yang menggabungkan kebijakan harga dasar gabah dan harga atap beras pada masa Orde Baru.

Tidaklah terlalu mengherankan apabila masih terdapat inkonsistensi kebijakan pangan, karena landasan strategis kebijakan pangan di Indonesia sampai saat ini masih rapuh. Masyarakat berharap banyak, bahkan terlalu tinggi, pada pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan yang baru, sebagai revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Saat ini proses politik pembahasan RUU Pangan itu sedang tertunda karena para anggota parlemen sedang memasuki masa reses dan berjumpa konstituen pada daerah pemilihannya masing-masing. Masa sidang kembali akan dibuka nanti pada 16 Agustus 2012, bersamaan dengan penyampaian Nota Keuangan dan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun 2013.

Perhatian utama dari masyarakat terhadap rencana impor beras tahun ini sebenarnya didorong dari rasa kepedulian atau bahkan pesimisme terhadap nasib dan kesejahteraan petani Indonesia. Petani padi Indonesia pasti akan sangat terpukul apabila beras impor sampai merasuk ke pelosok pedesaan pada sentra produksi padi. Bahwa usahatani padi yang secara politik sangat strategis dan menjadi penting pada saat Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah, ternyata masih jauh dari harapan.

Sistem politik dan pola perumusan kebijakan di Indonesia tidak berkontribusi langsung pada peningkatan kesejahteraan petani, terutama karena skala usaha ekonomi petani Indonesia yang tidak efisien. Sistem produksi padi di Indonesia melibatkan 15 juta rumah tangga usahatani (RUT) atau lebih dari 84 persen dari total 17,8 juta RUT di Indonesia. Lebih dari 9,5 juta (54 persen) RUT hanya menguasai lahan 0,5 hektar atau kurang, sehingga agak sulit berharap banyak bahwa petani padi akan mampu menikmati keuntungan ekonomi dan penghidupan yang layak.

Petani Indonesia sebenarnya tidak meminta sesuatu yang muluk-muluk, tapi pemihakan yang tulus dari pemerintah, sehingga mampu memahami permasalahan dan kesulitan yang dihadapi petani Indonesia. Petani Indonesia sangat sabar dan mengerti apabila jargon-jargon reforma agrarian yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Januari 2007 belum dapat direalisasikan sepenuhnya. Petani Indonesia sangat perlu seorang pendamping dan penyuluh pertanian lapangan yang andal, yang dapat dijadikan tempat bertanya, apabila terdapat serangan hama wereng cokelat.

Petani bukannya tidak menginginkan bantuan langsung masyarakat seperti pembagian uang Rp100 juta per Gabungan Kelompok Tani pada program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP). Uang sebesar itu apabila dibagi-rata kepada 100 orang petani, sehingga setiap petani menerima Rp1 juta rupiah potong biaya administrasi, tentu tidak akan berubah menjadi sesuatu yang produktif. Petani akan lebih berterima kasih apabila mereka mampu memperoleh tambahan motivasi dan peningkatan pemahama terhadap inovasi baru dan teknologi tepat-guna yang mampu meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Di sinilah cikal-bakal proses peningkatan kesejahteraan petani bermula dan perbaikan kehidupan masyarakat pada umumnya dapat diharapkan terwujud.