PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: 10/21/12

Minggu, 21 Oktober 2012

Bulog Paling Tepat Jadi Badan Otoritas Pangan


Pemerintah sebaiknya menjadikan Perum BULOG sebagai badan otoritas pangan (BOP), yang berada langsung di bawah presiden. Selain lebih simpel, perubahan status BULOG menjadi BOP akan menghemat biaya, waktu, dan tidak menciptakan rantai birokrasi baru.

"Menurut hemat kami, penunjukan BULOG sebagai BOP akan lebih efektif dan efisien. Dalam sisa waktu tiga tahun ke depan, pemerintah tinggal memperkuat BULOG agar benar-benar siap saat nanti mengemban tugas sebagai BOP, kata Jusuf, staf ahli presiden bidang energi dan ketahanan pangan, kepada Investor Daily di Jakarta.

DPR kemarin mengesahkan UU Pangan baru yang merupakan hasil revisi UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 126 hingga 129 UU tersebut mengamanatkan pembentukan lembaga, di bawah presiden langsung guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional.

Lembaga yang sering disebut BOP itu dapat mengusulkan kepada presiden, untuk memberikan penugasan khusus bagi BUMN di bidang pangan, guna melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya.

Status lembaga yang harus terbentuk paling lama pada 2015 itu, akan diatur melalui peraturan presiden (perpres). Jusuf menjelaskan, Presiden SBY telah menginstruksikan agar Perum BULOG direvitalisasi. Dengan begitu, BULOG dapat menjalankan tugasnya secara maksimal sebagai stabilisator harga sekaligus sebagai penyangga stok pangan utama nasional.

"Revitalisasi bertujuan agar BULOG bisa menjaga kepentingan petani di satu sisi, dan kepentingan konsumen di sisi lain. Konsumen dapat membeli pangan dengan harga terjangkau, tapi petani juga memperoleh nilai tukar yang bagus, papar dia.

Dia mengakui, selama ini rantai birokrasi pangan lumayan panjang. Padahal, untuk menstabilkan harga dan menjaga stok pangan, diperlukan kecepatan berindak, terutama saat harga pangan mengalami gejolak atau stok pangan terancam.

Presiden SBY beberapa waktu lalu menyatakan, BULOG akan kembali diserahi tugas mengelola beras, gula, kedelai, dan daging sapi. Bersamaan dengan itu, santer beredar kabar bahwa BULOG akan ditempatkan langsung di bawah presiden. Jika ditempatkan langsung di bawah Presiden, berarti BULOG akan dikembalikan statusnya seperti pada era 1995.

Pada era itu, BULOG berstatus sebagai lembaga pemerintah nondepartemen, yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. BULOG pada masa itu memiliki tugas pokok mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan, dan bahan pangan lainnya.

Mendag: Impor Beras dan Kedelai Harus Dikurangi



Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menegaskan, Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan impor terhadap dua kebutuhan pokok nasional, yaitu beras dan kedelai.
"Impor kebutuhan bahan pokok beras dan kedelai harus dikurangi. Saat ini kita masih sangat bergantung pada pasokan dari luar negeri," kata Gita usai menghadiri Temu Akbar Alumni Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya di Jakarta, Sabtu (20/10/2012).
Untuk beras, Gita mengatakan, impor untuk komoditas tersebut harus peka terhadap produksi nasional.
Sebelumnya, pemerintah berencara untuk mengimpor 700.000 ton beras untuk menambah stok Bulog menjadi dua juta ton pada akhir tahun 2012. Menteri Pertanian Suswono pada Jumat (19/10) mengatakan, stok dalam negeri pada akhir tahun dapat mencapai 1,3 juta ton dengan asumsi serapan 3,6 juta ton.
Namun, Gita menjelaskan, keputusan impor beras sebanyak 700.000 juta ton tersebut belum final karena data yang digunakan masih berupa perkiraan.
"Jika serapan beras di lapangan ternyata lebih bagus dari perkiraan, maka jumlah impor beras tidak akan sebanyak itu," ujar Gita.
Di sisi lain, Gita mengaku prihatin terhadap fakta yang menunjukkan bahwa 70 persen kebutuhan kedelai nasional yang diperkirakan mencapai 2,5 juta ton masih harus dipenuhi dari negara lain.
"Ini menunjukkan bahwa ketahanan dan kedaulatan pangan kita masih sangat rendah, dan masalah pada komoditas kedelai akan menjadi prioritas utama kementerian yang terkait dengan pangan," tukas dia.
Saat ini, Indonesia harus mengimpor sekitar 1,7 juta ton kedelai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Rendahnya produksi kedelai nasional menyebabkan harga komoditas tersebut melambung tinggi, dan menjadi pemicu utama inflasi sebesar satu persen di Jawa Tengah pada bulan September.