PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: 05/08/12

Selasa, 08 Mei 2012

Kenapa Bulog Harus Impor Beras

Bulog sendiri berharap tidak ingin melakukan kebijakan impor. Kebijakan impor beras yang dilakukan Perum Bulog merupakan kebijakan yang tak bisa dihindari, karena kebutuhan dan produksi beras dalam negeri tidak seimbang. Bulog sendiri berharap tidak ingin melakukan kebijakan impor itu. Namun, merujuk dari fakta di lapangan dan realitas politik, Bulog harus melakukan impor beras. "Di Bulog, kebijakan yang sifatnya politis lebih besar, ketimbang hitungan teknis dan analitis," kata Dirut Perum Bulog, Sutarto Alimoeso, di Yogyakarta, Senin, 7 Mei 2012. Menurut dia, berdasarkan hasil catatan Bulog, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini hanya tiga kali pemerintah tidak melakukan impor beras yakni pada 1993, 2008, dan 2009. "Tapi, tetap saja kebijakan impor beras dianggap haram dan itu ulahnya Bulog," ujar Sutarto. Sutarto melanjutkan, Bulog telah berusaha keras untuk memenuhi stok beras dengan memperluas basis pemasukan gabah melalui strategi "dorong-tarik" dan pengembangan "jaringan semut". Strategi ini, dia melanjutkan, ditujukan untuk mempercepat arus pengadaaan melalui kerja sama Bulog dengan Pemda. Pemda mendorong produksi padi dan kelompok taninya, sedangkan Bulog menyerap hasil produksi. Sutarto mengungkapkan, strategi jaringan semut yakni Bulog membeli gabah dan beras petani, langsung dari kelompok tani dan penggilingan-penggilingan kecil yang sarananya terbatas. Bulog juga mendorong masuknya mitra-mitra baru dengan sistem pelayanan yang mudah, cepat, dan sederhana. "Sampai akhir April, pembelian Bulog telah mencapai di atas 1,32 juta ton atau naik 57 persen dari pengadaan tahun lalu," ujarnya. Wakil Menteri Perdagangan, Bayu Krisnamurthi, menambahkan, perlu penguatan agribisnis untuk meningkatkan ekonomi perberasan seiring perubahan perilaku konsumen dengan meningkatnya daya beli masyarakat terhadap kebutuhan beras yang mereka inginkan. "Kualitas beras Bulog harus tidak lagi sebatas beras raskin," katanya. Bayu menyebutkan, dari 240 juta masyarakat Indonesia, sekitar 100 juta yang tinggal di desa dan 120 juta di kota. Diperkirakan sekitar 40 juta orang yang berada di 10 kota besar masuk kategori kelas menengah ke atas yang memiliki penghasilan di atas Rp20 juta per bulan, sehingga membutuhkan beras dengan kualitas yang berbeda.