PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: Maret 2012

Kamis, 29 Maret 2012

SBY: Ketahanan Pangan Jadi Prioritas Nasional

"Kalau terwujud, di tahun-tahun mendatang Indonesia akan memiliki kemandirian pangan" Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari ini menekankan ketahanan pangan harus jadi prioritas dan agenda nasional. Menurut dia, hal itu perlu dikonkritkan melalui program-program prorakyat yang harus terus dilaksanakan pemerintah. SBY menyatakan ada empat agenda terkait pencapaian ketahanan pangan tersebut. Pertama, pemerintah terus mengembangkan program prorakyat, termasuk beras untuk rakyat miskin dan jaminan kesehatan untuk rakyat miskin. “Ini harus dijalankan dan harus sukses,” kata SBY saat membuka Seminar dan Pameran Ketahanan Pangan 2012 di Jakarta Convention Center, Selasa 7 Februari 2012. Kedua, ujar SBY, produksi pangan harus terus ditingkatkan melalui perluasan lahan pertanian melalui bantuan teknologi, mengingat semakin terbatasnya ketersediaan lahan. “Kalau terwujud, di tahun-tahun mendatang kita akan memiliki kemandirian pangan, dalam arti cukup untuk rakyat, dan kemudian disalurkan ke dunia sehingga dapat meningkatkan perekonomian kita,” jelas SBY. Ketiga, komoditas pangan harus tersedia dengan harga terjangkau dan stabil. “Untuk itu mari perbaiki sistem logistik dan infrastruktur kita,” ujar SBY. Keempat, perkembangan pangan pada tingkat global harus terus dipantau, sebab dibutuhkan kerjasama dengan negara-negara sahabat dan organisasi dunia untuk mencapai ketahanan pangan nasional. “Misalnya ada negara pengekspor beras yang mengubah kebijakan, sebaiknya ada koordinasi,” kata SBY.

Agar Wujud Bulog Tidak Ka ‘Adamihi

Intinya: masih banyak yang harus kita perbuat untuk puluhan juta petani kita. Lupakan gerbang tol. Ada yang lebih aktual yang harus kita dukung: pengadaan beras oleh Bulog. Saat ini petani lagi panen raya. Tindakan saya yang keras dalam mengatasi kemacetan di pintu-pintu tol memang mendapat dukungan luas (10 persen lainnya mengecam saya sebagai sekadar melakukan pencitraan), tapi Bulog juga harus terus didorong untuk berubah. Hari-hari ini Bulog lagi all-out terjun ke sawah. Di musim panen raya sekarang ini Bulog tidak mau lagi disebut sekadar menjadi “tukang tadah”. Saat ini Bulog mulai berani membeli gabah langsung dari petani. Tidak hanya membeli gabah melalui para tengkulak. Kali ini Bulog mencoba belajar jadi “tengkulak” itu sendiri. Direktur Utama Perum Bulog, Sutarto Alimoeso, langsung terjun ke sawah-sawah. Hasilnya pasti belum maksimal. Juga belum bisa merata ke semua daerah. Maklum baru sekarang ini Bulog terjun langsung ke desa-desa secara all-out. Bulog kali ini mencoba mengubah cara kerja. Tapi memang tidak mudah mengubah sesuatu yang sudah lama menjadi kebiasaan. Apalagi kalau sudah mengakar dan menggurita. “Membelokkan” kapal besar seperti Bulog tidak akan bisa spontan seperti membelokkan speedboat. Tapi perubahan di Bulog sudah dimulai. Waktu mengadakan rapat kerja dua bulan yang lalu, semangat untuk berubah itu terlihat nyata. Dan tidak boleh mundur lagi. Dalam rapat kerja itu, misalnya, ditemukan cara agar Bulog bisa lebih lincah tanpa melanggar aturan. Pertama, aturan itu sendiri diubah. Kedua, mendayagunakan anak perusahaan untuk meningkatkan fleksibilitas pembayaran langsung kepada petani. Ketiga, melakukan kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk pendanaan. Selama ini Bulog tidak mungkin bisa bersaing dengan para tengkulak: kalah lincah, kalah prosedur dan kalah dana. Akibatnya nama Bulog kian redup di mata petani. Rendahnya kepercayaan petani padi kepada Bulog sudah mirip rendahnya kepercayaan petani tebu kepada pabrik gula. Seperti juga pabrik-pabrik gula milik BUMN, kini Bulog juga lagi giat merebut kembali kepercayaan yang hilang itu. Tentu belum akan berhasil tahun ini, tapi setidaknya sudah dimulai. Kalau usaha ini tidak dilakukan maka dalam waktu yang tidak terlalu lama Bulog kian jauh dari petani. Bisa-bisa Bulog lama-lama menjadi “adanya seperti tiadanya (wujuduhu ka ‘adamihi)”. Tapi kehadiran tengkulak di tengah-tengah petani sebaiknya juga jangan dikecam. Bahkan harus disyukuri. Di saat Bulog seperti itu, terus terang, tengkulaklah yang menjadi juru selamat para petani. Tengkulaklah yang siap membeli gabah kapan saja dalam kualitas seperti apa saja. Tengkulak bisa membeli gabah fresh from the field. Tanpa perlu memeriksa apakah kadar airnya tinggi atau rendah. Tanpa memeriksa berapa persen gabah yang kopong. Petani sangat senang dengan cara ini: langsung bisa mendapat uang saat itu juga. Tentu petani tidak mungkin menunggu Bulog. Bisa-bisa seperti menunggu datangnya pesawat Adam Air yang pergi entah ke mana. Apa lagi dalam panen raya serentak seperti sekarang ini. Jutaan petani ingin dapat uang sekarang juga. Tahun ini, kelihatannya, panen raya akan maksimal. Di samping harga gabah sangat baik, panennya sangat berhasil. Tidak banyak hama dan tidak banyak bencana banjir. Insya-Allah. Kita doakan keadaan seperti ini tetap berlangsung setidaknya sampai musim panen selesai bulan depan. Tentu kalau bisa juga seterusnya. Setelah beberapa tahun panen banyak terganggu, tahun ini petani benar-benar akan bisa menikmati hasil sawahnya. Pak Marto Paimin, petani dusun Karang Rejo, desa Bener, Sragen, yang tahun ini menggarap sawah 0,7 ha, memperkirakan akan mendapat hasil (sekali panen) sekitar Rp5 juta. Gabah yang sedang dia tumpuk di ruang tamu rumahnya itu, kira-kira akan bernilai Rp13 juta. Sedang biaya menggarap sawahnya, termasuk benih dan pupuk, menghabiskan maksimal Rp8 juta. Malam itu saya tidur dan ngobrol dengan asyiknya di rumah Pak Paimin. Sarapan oseng-oseng daun pepaya dengan tempe goreng secara lesehan di lantai sebelah tumpukan gabah, benar-benar mengingatkan masa kecil saya. Lantai rumah itu yang masih berupa tanah dan dinding-dindingnya yang terbuat dari kayu, membuat udara malam itu cukup sejuk. Tapi mengapa gabah Pak Paimin masih ditumpuk? Tidak segera dijual? “Tunggu harga naik bulan depan, Pak,” kata Pak Paimin. “Bulan depan harga akan lebih baik. Bisa mendapat tambahan kira-kira Rp400.000,” tambah Supomo, anak bungsunya yang kini hampir selesai membangun rumah gedung persis di depan rumah bapaknya itu. Memang dia memiliki pinjaman pupuk dan benih dari BUMN PT Petrokimia Gresik. Tapi masih ada waktu satu bulan lagi sebelum jatuh tempo. “Meski pun namanya yarnen (bayar di saat panen), kami memberi kelonggaran satu bulan,” ujar Arifin Tasrif, Dirut PT Pupuk Sriwijaya Holding. Presiden SBY memang memerintahkan tiga BUMN, (Sang Hyang Sri, Pertani, dan Pupuk Kaltim/Sriwijaya/Petrokimia) untuk habis-habisan membantu petani meningkatkan produksi beras. Sawah-sawah yang hanya bisa memproduksi padi 5,1 ton/ha harus meningkat menjadi di atas 7 ton/ha. Rendahnya produktivitas itu kadang karena petani tidak punya uang untuk membeli benih unggul. Atau tidak punya uang untuk membeli pupuk tepat pada waktunya. Pemupukan yang tidak tepat waktu membuat pupuk tidak efektif. Itulah sebabnya tiga BUMN tersebut ikut terjun ke petani langsung. Bisa saja, kelak, sistem yarnen itu diganti dengan yarbah. Dibayar dengan gabah. Lalu tiga BUMN tersebut menyerahkan gabahnya kepada BUMN Perum Bulog. Dengan demikian Bulog tidak perlu bersaing dengan tengkulak di lapangan. Bulog juga tidak perlu terlalu banyak membeli gabah/beras dari pedagang. Sistem yarbah itu lagi dimatangkan setelah belajar banyak dari panen raya tahun ini. Kalau dari sistem yarbah itu belum cukup, BUMN masih punya dua program besar lain di bidang pangan: pencetakan sawah baru 100.000 ha di Kaltim dan gerakan ProBesar. Hasil dari dua-duanya bisa juga langsung dikirim ke Bulog. Program ProBeras adalah program kerjasama BUMN dengan petani yang tidak mampu menggarap sawahnya secara maksimal. Misalnya petani tersebut punya sawah tapi tidak punya tenaga. Anak-anaknya tidak ada lagi yang di desa. Tidak seperti Pak Paimin yang ketiga anaknya tetap jadi petani semua. Sawah-sawah yang seperti itu biasanya dikerjakan secara apa adanya. Akibatnya produktivitas per hektarnya rendah. Untuk itu BUMN bersedia menerima sawah tersebut. BUMN-lah yang mengerjakannya dengan sistem korporasi. BUMN punya benih unggul, punya pupuk komplit, punya mesin-mesin pertanian, punya tenaga ahli dan punya dana. BUMN akan menjadikan sawah-sawah seperti itu sawah dengan produktivitas yang maksimal. Dengan menangani program Yarnen, ProBesar, dan Sawah Baru, BUMN kelak akan menggabungkan diri ke dalam satu BUMN pangan yang kuat. Mudah-mudahan bisa membantu mengatasi persoalan pangan terutama beras. Rapat-rapat di Menko Perekonomian yang dipimpin Hatta Rajasa terus memonitor program ini. Memang tetap ada pertanyaan besar: Kalau saja harga gabah tetap baik dan para tengkulak tetap agresif seperti sekarang, masih perlukah Bulog? Dari berbagai kunjungan saya ke daerah pertanian (Bantul, Gunung Kidul, Sragen, dan Jombang) saya melihat peran tengkulak sangat besar. Juga sangat luas. Penetrasinya juga sangat dalam. Hampir-hampir terasa ada atau tidak adanya Bulog tidak ada bedanya. Di desa yang saya kunjungi di Sragen itu misalnya, tengkulak tidak hanya agresif membeli gabah, tapi sudah sampai menebas padi ketika masih di sawah. Petani tidak perlu susah-susah memanen, merontokkan, dan mengeringkan. Tengkulak-penebas langsung membeinya ketika masih dalam bentuk padi menguning yang berdiri di sawah. Harga beras yang dinilai tinggi oleh konsumen ternyata dinilai baik oleh petani. Demikian juga harga beras internasional yang tinggi menimbulkan peluang bagi pedagang untuk menjadikan gabah sebagai barang dagangan. Tentu tidak hanya itu alasan petani untuk cenderung menebaskan saja padinya yang masih menguning di sawah. Sulitnya mencari tenaga untuk memanen dan merontokkan gabah ikut jadi alasan. Sulitnya mencari lahan hamparan untuk menjemur padi menambah-nambah alasan tesrebut. Peralatan pertanian itu begitu mendesaknya sekarang ini. Di Bantul saya menerima permintaan perlunya diberikan alat pemanen, perontok, dan pengering gabah. Di Jombang saya menerima permintaan agar ada program pembuatan hamparan penjemuran gabah. Mesin perontok dan pengering yang mulai diintrodusir tahun-tahun terakhir ini dinilai tidak cocok karena berbahan bakar minyak. Terlalu mahal biaya operasionalnya. Ada memang mesin perontok mekanik yang diputar oleh orang seperti naik sepeda statis, tapi petani maunya yang tinggal pijit tombol. Dalam berbagai kesempatan dialog di lingkungan perguruan tinggi soal ini saya kemukakan. Perlu diciptakan mesin-mesin pertanian sederhana yang cocok untuk petani kita. Sewaktu dialog dengan alumni Fakultas Teknik Unibraw Malang di Jakarta bulan lalu saya tawarkan peluang besar ini. Demikian juga waktu dialog dengan mahasiswa ITB Bandung. Di Bantul saya sudah mencoba panen dengan menggunakan mesin yang bentuknya mirip traktor. Hanya dalam dua jam bisa memanen padi satu hektar. Enak sekali dan cepat sekali. Padi pun otomatis masuk di kendaraan itu dan keluar di bagian belakangnya sudah dalam keadaan terpisah antara batang dan gabahnya. Dengan cara ini hampir tidak ada gabah yang tercecer. Beda sekali dengan masa remaja saya di desa ketika harus jadi buruh pemanen dengan menggunakan ani-ani. Meski mesin ini masih terlalu mahal, rasanya mau tidak mau kita harus menuju ke arah sini. Tenaga untuk memanen dan merontok benar-benar sulit sekarang ini. Apalagi lima tahun ke depan. Dengan demikian ke depan yang diperlukan tinggal “kendaraan panen” ini dan lahan penjemuran. Di Jombang diusulkan agar tanah desa diubah menjadi lahan penjemuran bersama. Di saat musim panen, hamparan itu untuk menjemur gabah. Di luar itu bisa untuk tempat bermain anak-anak. Kecuali bisa ditemukan mesin penjemur yang tidak berbahan bakar minyak. Misalnya mesin yang memanfaatkan panas matahari. Di perkebunan karet BUMN PTPN IX Jateng sudah dicoba pengeringan karet dengan tenaga matahari. Investasinya memadai karena digunakan sepanjang tahun. Saya sudah minta bagaimana mungkin proses itu disempurnakan untuk gabah. Memang perhitungan investasinya lebih sulit. Pengering gabah hanya akan dipakai maksimal tiga kali setahun. Yakni di saat musim panen saja. Intinya: masih banyak yang harus kita perbuat untuk puluhan juta petani kita. Terutama pada masa transisi seperti ini. Transisi dari cara lama ke cara baru. Transisi yang tidak bisa dihindari karena kian sulitnya tenaga kerja di sektor pertanian. Transisi dari cara-cara lama ke cara baru yang mereka anggap lebih mudah. Transisi dari berlama-lama uro-uro di sawah ke cepat-cepat pulang nonton sinetron. Kalau pun belakangan ini saya banyak pergi ke sawah tidak lain untuk memberikan dukungan pada empat BUMN tersebut. Mumpung lagi panen raya. Apakah benar produktivitas sudah meningkat. Apakah benar problem pasca panennya bisa diatasi. Apakah benar Bulog masih diperlukan kalau menakisme pasar sudah sempurna. Bagi yang menganggap saya melakukan pencitraan sesekali boleh juga ikut ke sawah. Kita bisa, he he, mencitrakan diri bersama-sama. Akhir musim panen ini, akan diadakan evaluasi di BUMN. Dengan ikut terjun ke sawah saya bisa ikut diskusi tidak hanya berpegang pada data di atas kertas. Tahun ini beban Bulog sangat berat. Harus mengadakan beras dari petani 4 juta ton. Padahal tahun lalu hanya mampu 1,7 juta ton. Impor memang tidak harus dipersoalkan, tapi impor beras 1,8 juta tahun lalu, apakah harus terus-menerus begitu?

Bulog Akan Berperan di Jaringan Pangan Global

Pemerintah akan menjalin kerja sama dengan Myanmar dan Kamboja. Kementerian Koordinator Perekonomian berencana menjalin kerja sama dengan Myanmar dan Kamboja untuk pengembangan perdagangan dan memperluas jaringan internasional. Pemerintah nantinya akan mendirikan kantor-kantor cabang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti dari Badan Urusan Logistik (Bulog). "Saya meminta Menteri Pertanian untuk segera ke Myanmar dan Kamboja. Kami akan bekerja sama di bidang pertanian," kata Menteri Perekonomian, Hatta Rajasa, saat ditemui di kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Rabu 14 Maret 2012. Nantinya, Hatta menjelaskan, Bulog tidak hanya harus menjamin ketersediaan, distribusi, cadangan beras, dan stabilisasi pangan di dalam negeri. Namun, perannya akan ditingkatkan di level internasional. Hatta menjelaskan, kerja sama antara Indonesia dan Myanmar maupun Kamboja tidak ada kaitannya dengan impor beras. Karena Myanmar dan Kamboja mengundang Indonesia untuk mengembangkan penggilingan padi, proses pembibitan, hingga teknologi. "Tentu ini kami sambut baik. Kami punya pengalaman di sana. Bukan berarti untuk pengadaan pangan dari luar negeri," ujar Hatta. Hatta menambahkan, bentuk kerja sama itu nantinya akan menjadi agenda di acara ASEAN Summit pada April. Salah satu kerangka kerja sama Indonesia dengan Kamboja dan Myanmar adalah ketahanan pangan. "Nanti kami akan buat gudang pangan ASEAN. Indonesia, Filipina, dan Malaysia juga bisa bekerja sama dalam mengembangkan pangan ini," tuturnya. Untuk lahannya bisa di Filipina. "Tapi, sekarang dengan Myanmar dan Kamboja dulu," ujar dia. Namun, Hatta belum mengetahui berapa nilai investasi untuk kerja sama itu. Saat ini, pemerintah masih dalam penjajakan, mengingat sesama negara ASEAN akan meningkatkan ketahanan pangan. "Nanti akan dibicarakan. Apakah Indonesia yang mengembangkan bibitnya atau membangun penggilingan padi, atau siapa yang menyediakan lahannya," kata Hatta.

Senin, 19 Maret 2012

Pemerintah Bakal Impor Beras Lagi?

Pemerintah berjanji akan meningkatkan cadangan atau stok beras Bulog hingga dua juta ton guna mengantisipasi musim kemarau dan el nino pada tahun 2012 yang dapat mengakibatkan gagal panen. Namun ada isyarat pemeirntah akan mengimpor beras lagi. Hal itu dikemukakan oleh Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Hata Rajasa seusai rapat koordinasi tentang ketahanan pangan dan energi bersama para menteri dan instansi terkait di Kantor Kementerian Perekonomian, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Senin malam Menurut Hatta, antisipasi tersebut dilakukan agar stok tercukupi apabila produksi beras dalam negeri terganggu. "Saya kira stok dua juta ton itu angka maksimum, dari cadangan yang ada saat ini 1,6 juta ton," kata Hata Rajasa. Hatta tidak mempersoalkan sumber pengadaan cadangan beras itu dari dalam negeri atau impor. "Kita akan meningkatkan stok Bulog, pengadaan maksimal dari dalam negeri. Dari mana pun kita ambil, kalau perlu dari luar," kata Hatta. Namun Hatta juga mengatakan bahwa produksi beras dalam negeri memang meningkat dibandingkan tahun lalu. "Tapi yang namanya meningkatkan cadangan kan bukan berarti untuk dipakai," kata Hatta seraya mengkhawatirkan terjadinya musim kemarau dan Elnino pada tahun 2012. "Kita tidak boleh ambil risiko. Oleh sebab itu cadangan harus kita tingkatkan," kata Hatta Rajasa yang menyatakan bahwa Bulog diberi wewenang untuk meningkatkan cadangan beras demi menjaga ketahanan pangan. Secara terpisah, pihak Badan Urusan Logistik (Bulog) menyatakan, hingga saat ini cadangan atau stok beras cukup untuk penyaluran rutin hingga enam bulan mendatang. Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan Bulog akan berusaha memenuhi kebutuhan pasokan dengan menyerap produksi dalam negeri. Dari kebutuhan stok 1,5 juta ton beras, saat ini Bulog memiliki cadangan 1,6 juta ton beras. Dipaparkan pula sejak Januari 2011 hingga akhir Juni 2011, Bulog telah menyalurkan 155.000 ton beras melalui operasi pasar. “Karena harga cenderung naik, maka kita akan tingkatkan operasi pasar. Operasi pasar ini tidak kita tahan,” katanya. Sutarto juga mengemukakan, cadangan beras yang ada cukup untuk penyaluran rutin enam bulan ke depan. Penguatan stok dari dalam negeri telah dilakukan melalui berbagai langkah sampai hari ini. Hingga saat ini posisi stok beras dalam negeri mencapai 1.282 ribu ton. Jumlah tersebut dinilai Bulog cukup memadai. "Pengadaan dalam negeri sebanyak 1.282 ribu ton setara beras dari kontrak 1.330 ribu ton setara beras," katanya. Sebelumnya angka ramalan (aram) II yang diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan produksi beras tahun 2011 meningkat 1,59 juta ton menjadi 68,06 juta gabah kering giling (GKG) atau meningkat 2,4% di bandingkan tahun 2010 yang mencapai 66,47 GKG yang merupakan angkat tetap. Menteri Pertanian Suswono mengatakan, keputusan mengimpor beras ditujukan untuk menambah stok beras yang ada di Bulog. Halitu dilakukan untuk keperluan operasi pasar demi menstabilkan harga beras.

Cuaca Kian Ekstrem, Produksi Padi Terancam Jeblok

Faktor cuaca ekstrem yang terus melanda Indonesia diperkirakan bakal mempengaruhi produksi padi dan berujung terganggunya pasokan beras dalam negeri. Pemerintah dituntut untuk membuat program-program adaptasi. Dengan demikian, para petani mampu mengatasi masalah cuaca. Menurut Pengamat Pertanian, Husein Sawit, program adaptasi untuk menghadapi cuaca ekstrem ini harus mendapat dukungan, terutama dari segi kebijakan dan bujet. “Sayangnya, pemerintah kita justru malah lebih mendukung program mitigasi. Padahal, kepentingan kita berbeda, yang dibutuhkan adalah program adaptasi. Seharusnya pemerintah lebih mengedepankan membuat teknologi adaptasi. Kalau mitigasi itu kan untuk negara maju, kepentingan kita berbeda dalam hal ini,” ujar Husein Sawit saat dihubungi Neraca, Selasa (6/3). Dengan demikian, papar Dia, tak ada pilihan lain selain mengimpor beras dari luar negeri, kalau tidak ingin ketahanan pangan Indonesia terganggu. “Untuk menghindari hal itu, pemerintah sebaiknya mencari yang lebih aman, mengingat Thailand dan Vietnam dilanda banjir. Jangan lagi ambil dari sana, cari mana yang lebih secure,” terangnya. Husein pun mempertanyakan munculnya aturan pemerintah yang mengatur larangan impor beras mulai 7 Maret mendatang. Pasalnya, kebijakan ini diambil terlalu dini. “Lihat hasil panennya saja belum ketahuan, sudah membuat aturan seperti itu, tapi itu sudah biasa dilakukan pemerintah,” tegasnya. Maklum saja, imbuh Husein, sebelum menerapkan larangan impor, pemerintah melalui Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, sudah mengumumkan bahwa Indonesia akan melakukan impor beras sebesar 2 juta ton, itu juga belum mengetahui bagaimana hasil panen Indonesia. “Tindakan ini menandakan Menteri Perdagangan kita tidak cerdas, masak belum apa-apa sudah mengumumkan mau impor, harusnya impor itu tidak perlu diumumkan, karena akan berakibat tidak baik, misalnya, India mendengar kita mau impor beras mereka pasti sudah ambil ancang-ancang dari sekarang,” kata dia. Sementara Direktur Jendral Tanaman Pangan Kementrian Pertanian, Udoro Kasih Anggoro mengatakan, pemerintah belum memutuskan soal target produksi beras. Saat ini, Kementan masih menunggu keputusan pemerintah secara resmi mengenai target produksi beras. “Akan ada perbaikan target pencapaian produksi beras secara resmi dalam waktu dekat ini,” katanya. Dengan kondisi cuaca saat ini yang masih memburuk, Anggoro mengaku yakin dengan BMKG yang memberikan pernyataan bahwa cuaca di Indonesia normal. “Kita harus optimis, produksi panen beras akan terus membaik. Menurut BMKG cuaca Indonesia tahun ini normal,” ungkapnya. Meskipun demikian, imbuh Anggoro, masih muncul kekhawatiran akan terjadinya penurunan produksi beras pada kuartal ke 3 tahun ini, yaitu pada Juni – September. Anggoro menegaskan, kekhawatiran tersebut sudah diantisipasi pemerintah dengan membuat kebijakan-kebijakan baru melihat kondisi nanti. “kita sudah memiliki mekanismenya. Pada 1 Juli nanti akan ada rakor di Menko Perekonomian untuk membahas hal tersebut,” jelasnya. Anggoro menyampaikan, semua kendala yang berpotensi menimbulkan kegagalan produksi beras harus segera cepat diselesaikan. Kendala-kendalanya antara lain, konversi lahan, dari lahan sawah ke lahan non sawah, sarana irigasi yang buruk dan kewaspadaan terhadap hama penyakit. Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menilai, ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola pertanian untuk meningkatkan produksi terlihat belum maksimal. “Kalau target produksi beras 72 juta ton itu karena pemerintah percaya diri tidak akan impor beras, namun kenyataannya tahun lalu saja target 70 juta ton tidak tercapai. Akhirnya tahun lalu impor, tahun ini pun akan impor minimal sama seperti tahun lalu,” lanjutnya. Impor beras, lanjut Winarno, menjadi keniscayaan karena produksi tidak akan cukup untuk menutup kebutuhan konsumsi masyarakat. Dia menilai, target tersebut pasti akan turun dengan sendirinya meski pemerintah menargetkan terlalu muluk. “Pengalaman kemarin saja target muluk akhirnya tidak tercapai kan, saat ini pemerintah berusaha rasional dengan hanya menargetkan 66,7 juta ton. Sektor pertanian belum ada langkah konkret untuk meningkatkan produksi beras,” lanjutnya. Namun, target tersebut akan terhambat oleh ancaman cuaca ekstrem yang membayangi petani sepanjang tahun ini. Cuaca ekstrim juga akan pengaruhi harga beras. “Melihat cuaca saat ini, apalagi baru awal tahun kemungkinan akan mempengaruhi produksi beras. Apalagi kalau cuaca buruk seperti ini berkepanjangan, jelas menurunkan produksi petani,” ujar Winarno Winarno mengkhawatirkan musim panen yang akan dimulai pada periode Maret-April tahun ini. Menurut dia, jika cuaca buruk seperti hujan masih terjadi maka akan banyak persoalan ke depannya. Dia menyontohkan persoalan pengeringan gabah yang akan terganggu jika cuaca terus menerus hujan maupun mendung. “Selain masalah pengeringan, masalah lainnya yang juga besar yakni persoalan banjir, lihat saja kejadian di Thailand beberapa waktu lalu. Setelah banjir maka akan muncul hama penyakit, jadi akan banyak hadangannya peningkatan target produksi beras itu,” ungkap Winarno. Karena banyaknya hadangan dan tantangan pemerintah dalam mencapai targetnya, Winarno memprediksi penurunan produksi beras ditahun 2012 ini yakni hingga 5%. Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Diah Maulida mengatakan, upaya pemerintah untuk dapat mencapai target produksi beras tahun ini dengan mengadakannya program Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu. Sehingga, para petani diberikan penyuluhan untuk meningkatkan produksi. Namun, diakuinya apabila terjadi kekurangan dalam memenuhi kebutuhan beras pada tahun ini, kemungkinannya akan dilakukan impor. “Tapi itu perlu hitung-hitungan, tidak bisa diputuskan sekarang, dan kepastian dibuka jalur impornya pun, harus dirapatkan kembali, tidak bisa langsung buka keran impor,” jelasnya. Diah juga menjelaskan hitungan tersebut harus melihat hasil panen tahap kedua, dan dia juga menampik tidak bisa menyalahkan sepenuhnya produksi beras turun karena adanya perubahan cuaca Realisasi Impor Sementara itu Perum Bulog memastikan bahwa proses pengapalan beras impor rampung awal bulan ini. Sebab pemerintah telah memberikan batas akhir impor pada 7 Maret. “Saat ini seluruh beras impor sudah masuk seluruhnya ke dalam negeri,” katanya. Proses terakhir tinggal menunggu bongkar muat beras impor dari 2 kapal sejumlah 11 ribu ton, yakni dari Thailand 3 ribu ton dan India 8 ribu ton. Kedua kapal itu sudah bersandar di Pelabuhan Belawan, Medan dan Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Beras yang masih masuk ini merupakan realisasi importasi dari izin yang diberikan pemerintah kepada Bulog pada 2011 sebesar 1,9 juta ton. Pada 2010, Bulog mendapat izin untuk mengimpor beras sebanyak 1,8 juta ton. Izin impor beras 2011 paling lambat harus direalisasikan satu bulan sebelum panen raya atau terakhir pada Maret ini karena puncak panen raya pada April. Pada 2011 lalu, Bulog mendapatkan beras impor dari beberapa negara, yaitu India sebesar 250 ribu ton, Vietnam 1,2 juta ton, Thailand 465 ribu ton, dan Myanmar 4.900 ton. Beras yang diimpor adalah kualitas medium, sedangkan kualitas premium didapat dari impor beras Myanmar. Sutarto meyakinkan importasi beras Bulog karena memang produksi di dalam negeri sangat kurang. Pada tahun lalu dengan produksi turun 1,6%, sangat terasa sulit untuk menyerap gabah dan beras petani karena harga yang tinggi di atas HPP. Untuk pengadaan beras dalam negeri, sejak Januari hingga awal Maret ini, Bulog sudah kontrak sebanyak 154 ribu ton dari target pengadaan Maret sebesar 748 ribu ton. Dari total kontrak pengadaan itu, yang sudah masuk ke gudang Bulog sebanyak 101 ribu ton. “Tapi target pengadaan itu masih menggunakan asumsi produksi padi 72 juta ton gabah kering giling dari Kementerian Pertanian,” katanya.

Politik Perberasan Nasional, Swasembada Vs Impor

Data menunjukkan perkembangan harga beras di Indonesia cenderung terus meningkat dari tahun ke tahun. Bahkan, jika dibandingkan dengan negara-negara pengimpor beras, seperti Filipina, Banglades, Tiongkok, dan Vietnam, harga beras Indonesia adalah yang termahal di dunia. Berdasarkan data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), per Juni 2011 harga beras rata-rata di tingkat eceran di Indonesia US$ 1,04 per kilogram. Pada saat yang sama, harga di Manila US$ 0,69 per kilogram; Banglades US$ 0,38 per kilogram; Tiongkok berdasarkan harga rata-rata di 50 kota untuk beras kualitas kedua di tingkat eceran sedikit di bawah Indonesia, US$ 0,83 per kilogram; dan Vietnam hanya US$ 0,41 per kilogram. Sementara itu, harga beras di Thailand sebagai negara asal impor Indonesia ialah US$ 0,44 per kilogram. Di lain sisi, pada 2010 dan 2011, saat pemerintah mengimpor beras, justru harga beras di dalam negeri semakin melambung. Harga beras di dalam negeri pada 2010 mencapai US$ 1,01 per kilogram dan pada 2011 (Juni) naik menjadi US$ 1,09 per kilogram. Padahal, harga beras di Thailand pada 2010 sangat murah, US$ 0,45 per kilogram dan pada 2011 (Juni) turun menjadi US$ 0,43 per kilogram. Harga naik dipicu berkurangnya pasokan dan pengaruh cuaca yang menghambat proses penjemuran gabah. Tingginya harga gabah dan beras itu dipengaruhi oleh minimnya jumlah panen di daerah penghasil padi tersebut. Negara Sangat Dirugikan Terlalu tingginya disparitas antara harga beras di Thailand sebagai Negara asal impor beras Indonesia dan harga beras di dalam negeri menunjukkan kegagalan tujuan kebijakan impor beras. Dengan membandingkan harga beras impor yang lebih murah, semestinya harga beras di dalam negeri akan semakin murah. Namun, faktanya, harga beras di Indonesia justru menjadi yang termahal di dunia. Keadaan itu mengundang pertanyaan, sebenarnya siapa yang sedang memainkan “politik perberasan”? Pertanyaan ini lagi-lagi menemukan aktualitasnya dengan fakta bahwa dalam impor beras pada 2011, misalnya, Bulog mengajukan pembebasan atas bea masuk impor beras. Padahal, tidak selayaknya impor beras ini dibebaskan dari bea masuk sebab dengan disparitas yang cukup tinggi antara harga beras di Thailand dan Indonesia, harga beras di dalam negeri masih mungkin ditekan lebih rendah lagi. Jadi, dengan kebijakan impor beras ini, negara merugi dua kali: kebijakan impor tidak sesuai sasaran dan Negara berpotensi kehilangan pendapatan. Bayangkan bahwa setiap tahun impor beras cenderung meningkat. Bahkan, sejak 1998 impor beras telah mencapai 5,8 juta ton dan 4 juta ton pada 1999. Dengan demikian, Indonesia menjadi (negara) importir beras terbesar di dunia. Ketergantungan impor beras ini sejatinya tak terlepas dari kebutuhan dalam negeri yang amat besar, harga beras di pasar internasional yang rendah, produksi dalam negeri yang tidak mencukupi, dan adanya bantuan kredit impor dari negara eksportir. Dalam konteks impor beras, dua hal yang menjadi pertanyaan, yakni benarkah perberasan kita sebegitu parah sehingga pemerintah setiap tahun harus impor beras? Pupuskah kebijakan impor beras terhadap harga beras di dalam negeri? Dua pertanyaan ini amat vital sebab jawaban atas pertanyaan inilah landasan pemerintah ke depan dalam mengambil kebijakan impor beras. Berdasarkan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), dalam empat tahun terakhir (2007-2010) produksi beras nasional meningkat cukup signifikan, dari 34.578.885 ton (2007) menjadi 41.396.272 ton (November 2010). Sementara itu, impor beras pada 2007 mencapai 1.293.980 ton dan pada 2010 turun drastis menjadi 228.000 ton. Dalam kurun tahun 2008-2009, menurut Laporan Operasional Perum Bulog, Indonesia tidak mengimpor beras. Dari perkembangan produksi dan impor beras di atas, sulit mengambil kesimpulan apakah dalam kurun 2008-2009 Indonesia sebenarnya sudah swasembada beras hanya karena pemerintah tidak mengimpor beras. Selanjutnya. kita berharap jangan sampai kasus tahun 1957 terulang kembali. Jika memang sudah swasembada beras, mengapa Indonesia masih harus impor beras? Tampaknya politik pertanian perlu lebih disempurnakan lagi. Setidaknya ada tiga dasar dalam penentuan politik perberasan ini yakni swasembada berkelanjutan, harga yang lebih murah di tingkat konsumen, dan terjadi peningkatan kesejahteraan petani. Di perkotaan, konsumen beras sekitar 96% atau hanya 4% saja yang merupakan produsen beras. Di perdesaan, konsumen beras sekitar 60% atau hanya 40% penduduk desa yang merupakan produsen beras. Implikasinya, setiap kenaikan 10% harga beras, hal itu akan menurunkan daya beli masyarakat perkotaan sebesar 8,6% dan masyarakat pedesaan sebesar 1,7% atau dapat “menciptakan” dua juta orang miskin baru. Struktur Pasar Beras Lalu, bagaimana sebenarnya memahami politik perberasan di Indonesia? Bagaimana mungkin Indonesia, Negara agraris, yang sebelumnya mampu swasembada berubah menjadi Negara pengimpor beras terbesar di dunia? Centang perenang politik perberasan nasional salah satunya memang bersumber pada struktur pasar beras. Ternyata struktur pasar beras di Indonesia bersifat oligopolis. Beras yang ada di pasar hanya sekitar 20% dari total produksi. Sementara sebanyak 80% lagi digunakan petani sebagai produsen untuk dikonsumsi. Kondisi ini mengakibatkan petani selalu dalam posisi tawar yang tidak menguntungkan. Para petani mudah sekali untuk dipermainkan. Karena itu, hal mendasar yang harus dilakukan adalah kebijakan harga beras yang memberikan rangsangan bagi petani untuk berproduksi, melindungi dan menjamin harga yang layak bagi konsumen, memberikan keuntungan yang wajar bagi pedagang dan pengusaha penggilingan. Juga tak kalah pentingnya adalah menciptakan hubungan fluktuasi harga yang wajar di dalam negeri terhadap harga beras di pasar dunia. Lebih dari itu, kita juga harus memutar arah strategi pembangunan, yang semula condong ke industri (berteknologi canggih dan berbasis bahan baku impor), beralih ke pertanian (modern, agroindustri). Yang semula kelompok sasaran (target groups) kebijakan lebih banyak untuk masyarakat kota, hendaknya mulai sekarang harus digeser ke kawasan pinggiran (masyarakat perdesaan)

Jumat, 16 Maret 2012

KETAHANAN DAN KEMANDIRIAN PANGAN Konsep Hanya Bagus di Atas Kertas

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) meluncurkan rencana aksi nasional (RAN) pangan dan gizi (PG) 2011-2015. RAN ini merupakan panduan pelaksanaan pembangunan pa ngan dan gizi bagi institusi pemerintah, organisasi nonpemerintah, swasta, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya. Konsep dan strategi pembangunan di bidang pangan ini tampaknya memang selalu ada, bahkan terus disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Namun, hingga saat ini belum terbukti adanya suatu peningkatan produksi pangan di dalam negeri, minimal untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang secara otomatis mendongkrak permintaan. Seperti diungkapkan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sugiri Syarief, laju pertumbuhan penduduk yang tinggi di Indonesia sebesar 3,5 juta hingga 4 juta orang per tahun (sekitar 1,49 persen) memicu kerawanan pangan. Penduduk Indonesia yang jumlahnya mencapai 237,6 juta jiwa pada 2010 akan membawa berbagai implikasi terkait peningkatan kebutuhan. “Terutama kebutuhan dasar penduduk, seperti pa ngan, kesehatan, dan pendidikan,” katanya di Jakarta, kemarin. Dia juga menambahkan, tingginya pertumbuhan dan tekanan penduduk sangat berdampak pada lingkungan. Dampaknya menyangkut ketersediaan lahan pertanian yang makin terbatas. Tentunya ini mengancam ketersediaan pangan bagi penduduk. Untuk itu, diperlukan upaya simultan antara peningkatan ketahanan pa ngan dan pengendalian laju pertumbuhan penduduk. Jika tidak, maka ketahanan pangan melalui peningkatan produksi di dalam negeri tidak bisa mengimbangi laju pertumbuhan penduduk, apalagi jika mengandalkan impor. Dalam hal ini, pemerintah harus tegas menentukan program untuk meningkatkan produksi pa ngan. Apalagi, luas lahan yang digunakan untuk pertanian tanaman pa ngan menurun secara drastis dari tahun ke tahun. Sementara itu, Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HK TI) Sutrisno Iwantono mengingatkan pemerintah agar tidak menjadikan Indonesia tergantung pada negara lain dalam masalah pangan. Ini sama saja membahayakan nasib masyarakat, bangsa, dan negara. “Dalam kondisi sulit, setiap bangsa tentu akan berusaha menyelamatkan diri sebelum memikirkan negara lain. Karena itu, kita tidak boleh berharap selalu bisa impor pangan dari negara lain,” katanya. Untuk itu, President Advocacy Center for Indonesian Farmers (ACIF) ini meminta kalangan petani, terutama anggota dan pengurus HKTI, berkonsentrasi mengatasi ancaman krisis pangan pada 2011. Dalam hal ini, kebutuhan pangan nasional tidak bisa tergantung pada impor dan harus diproduksi sendiri secara mandiri. “Menggantungkan kebutuhan pangan masyarakat pada negara lain sangat berbahaya. Seminggu tanpa beras, negara ini pasti ambruk. Karena itu, Indonesia harus swasembada pangan. Caranya harus mendorong petani untuk menanam tanaman pangan. Kuncinya petani harus dapat hidup layak dari hasil panennya,” ujarnya. Prioritas Menurut dia, kebijakan pemerintah yang membebaskan bea masuk impor bahan pangan harus berstatus sementara dalam kondisi darurat. Dalam hal ini, tidak boleh menjadi insentif negatif bagi petani dalam negeri. Untuk itu, harus diikuti pula dengan upaya-upaya perlindungan petani, terutama di saat musim panen seperti sekarang. Harga gabah/beras petani tidak boleh jatuh, dan Perum Bulog harus lebih sigap dalam mengamankan harga gabah/beras petani. Lebih jauh Iwantono menjelaskan, program-program yang mendesak dan diprioritaskan untuk direalisasikan segera meliputi pencetakan sawah baru, peningkatan produktivitas, pencegahan konversi lahan pertanian, pembangunan dan pemeliharaan jaringan irigasi, kepastian ketersediaan sarana produksi (terutama pupuk bersubsidi), serta kredit usaha tani. Ini harus dilakukan karena dunia juga memperingatkan akan terjadi krisis pangan mulai 2011 ini. Masalah perubahan iklim, kegiatan spekulasi, diversifikasi penggunaan bahan pangan, dan kenaikan permintaan, semua itu merupakan faktor-faktor yang menyulut krisis pangan. “Pemerintah harus cepat dan tepat merespons,” ucap Iwantono. Langkah Terkait hal ini, Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Kementerian PPN/ Bappenas Nina Sardjunani mengatakan, sesuai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2010 menginstruksikan kepala daerah serta menteri terkait untuk mengambil langkah yang diperlukan dalam upaya menjaga ketahanan pa ngan dan perbaikan gizi masyarakat. Nina menyebutkan, Kementerian PPN/Bappenas bertanggung jawab dalam penyusunan RAN pangan dan gizi 2011-2015, dan selanjutnya pemerintah provinsi melalui gubernur diinstruksikan untuk menyusun rencana aksi daerah untuk pangan dan gizi pada 2011. Dokumen RAN PG 2011-2015 mencakup lima bagian utama, yaitu pendahuluan, pangan dan gizi sebagai investasi pembangunan, analisis situasi pangan dan gizi, rencana aksi, dan matriks rencana aksi. Penyusunan RAN PG menjadi kegiatan rutin setiap lima tahun sejak satu dekade lalu dengan dikeluarkannya RAN PG 2001-2005 dan 2006-2010. Sebelumnya, kalangan DPR meminta pemerintah memberi perhatian serius terhadap makin meningkatnya impor bahan pa ngan guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Jika tidak, pemerintah sama saja dengan mengingkari substansi dari Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002. Apalagi, hingga saat ini makin banyak bahan pangan yang harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Ketua Komisi IV DPR Ahmad Muqowam, di Jakarta, kemarin, mengemukakan, dalam PP tersebut, pemerintah menggariskan mengenai ketahanan pa ngan, kedaulatan pangan, dan swasembada pangan. “Dalam PP ini ditegaskan bahwa pengadaan pangan harus bertumpu pada sumber daya lokal dan menghindari ketergantungan pada impor,” katanya. Namun, berdasarkan data dan fakta yang ada di lapangan, dia mengatakan, makin banyak bahan pa ngan yang harus diimpor dari berbagai negara. Di sisi lain, lahan pertanian yang dialihfungsikan untuk keperluan lain juga makin luas. Saat ini, enam bahan pangan pokok yang pasokannya makin tergantung pada impor, yaitu garam, beras, jagung, kedelai, gula, dan daging. “Garam kita harus impor dari Australia 1,8 juta ton per tahun. Indonesia merupakan negara bahari, namun garam saja impor,” tuturnya. Sementara impor beras, hingga Juni 2011 diperkirakan mencapai 1,5 juta ton. Begitu juga kebutuhan jagung, masih harus tergantung pada pasokan impor 60 persen dari kebutuhan, kedelai 80 persen, serta gula lebih dari 55 persen. Selanjutnya, impor daging pada 2010 sebanyak 95 ton, meski untuk tahun ini pemerintah memproyeksikan impor daging hanya 67 ton.

Alih Fungsi Lahan Pertanian Perlu Kajian Untung Rugi

Bupati Serdang Bedagai Ir HT Erry Nuradi MSi minta petani dapat berpikir lebih visioner dan melakukan kaji ulang apabila berniat untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian dari lahan tanaman padi dan palawija menjadi lahan perkebunan. Pengalihan fungsi lahan pertanian dari lahan pertanian menjadi kawasan perkebunan sawit di beberapa tempat di Kabupaten Sergai perlu diawasi instansi terkait dan diberikan pemahaman untung ruginya kepada para petani. Penegasan itu diungkapkan Bupati Erry Nuradi disela-sela temu petani usai melakukan panen raya padi musim tanam “B” tahun 2010 di Desa Jambur Pulau Kecamatan Perbaungan, Senin (7/2) yang juga dihadiri Wakil Bupati Ir H Soekirman, Wakil Ketua HKTI Sumut Gusti Ritonga, pejabat PT Petro Kimia Gresik Eko Setiono, Wakil Ketua TP PKK Ny Hj Marliah Soekirman, anggota DPRD Sergai, pengurus Gapoktan dan tokoh masyarakat setempat. Lebih lanjut bupati menyebutkan, dengan adanya beberapa kawasan pertanian di Sergai yang dialih fungsikan menjadi lahan perkebunan sawit dikhawatirkan akan mengurangi tingkat swasembada beras yang selama disandang daerah ini. Padahal Pemkab Sergai dan DPRD setiap tahunnya terus memberikan perhatian yang besar kepada petani termasuk memberikan bantuan saprodi dalam upaya peningkatan produksi gabah di Sergai. Sebagaimana diketahui areal pertanian Kabupaten Sergai pada tahun 2010 seluas 40.598 hektar yakni sawah beririgasi 35.393 hektar dan tidak berisigasi 5.205 hektar. Daerah ini berhasil memproduksi beras sebesar 229.199 ton dan swasembada sebanyak 142.250 ton. Produksi itu terus diupayakan peningkatannya melalui berbagai program bantuan dari pemerintah dan alih teknologi pertanian, kata bupati. Disinggung mengenai adanya rehabilitasi jaringan irigasi primer dan sekunder di beberapa kecamatan sejalan dengan penyelesaian irigasi Sei Ular,ada sekitar 11.320 hektar lahan pertanian yang berada di daerah irigasi intake (DI) Buluh, DI Perbaungan dan DI Bendang harus dilakukan tunda tanam padi untuk satu musim tanam. Selama rehabilitasi jaringan itu, kepada petani di ketiga daerah irigasi intake tersebut sementara waktu diminta dapat melakukan peralihan tanaman komoditi dari padi sawah ke komoditi palawija jagung dan kedelai. Untuk memenuhi kebutuhan benih palawija itu, Pemkab Sergai telah mengusulkan kepada Kementerian Pertanian dan Pemprovsu dapat membantu cadangan benih nasional 2011 berupa jagung 85.155 kg untuk 5.677 hektar dan kedelai 225.720 kg untuk 5.643 hektar yang dijadwalkan ditanam pada bulan April sampai Juni 2011. Untuk itu peran serta dan kerjasama seluruh anggota masyarakat terutama petani dan para stakeholder sangat diharapkan mensukseskan program ini,ujar Bupati Erry Nuradi. Sementara itu, dari analisa usaha tani padi sawah hasil ubinan yang dilakukan di lahan milik Wabup Ir H Soekirman produksi rata-rata setiap hektar gabah kering mencapai 7.955 kg dan harga jual di tingkat petani saat ini mencapai Rp 4.050/kg, sehingga penerimaan kotor mencapai Rp 32.217.750 per hektar. Sedangkan untuk biaya usahatani padi sawah setiap hektar terdiri dari sarana produksi Rp 2.108.000 biaya tenaga kerja Rp 5.771.775 biaya lain-lain berupa PBB, iuran P3A sebesar 452.500 sehingga total biaya usahatani untuk satu hektar lahan sawah mencapai Rp 8.332.275. Dari perhitungan itu petani yang memiliki sendiri lahan sawah, berhasil memperoleh pendapatan bersih sebesar Rp 23.885.475 untuk satu hektar lahan sawah. Sedangkan bagi petani penyewa dikenakan tambahan sewa lahan setiap hektar sebesar Rp 3.750.000.

Bulog siapkan operasi pasar antisipasi kenaikan BBM

Jakarta. Dampak jika harga BBM dinaikkan niscaya akan ke sektor apa saja. Perum Bulog menyiapkan operasi pasar beras untuk mengantisipasi kenaikan harga komoditas tersebut. Dirut Perum Bulog, Sutarto Alimoeso, di Jakarta, Selasa, menyatakan, pihaknya telah menyiapkan stok beras yang diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan hingga empat bulan ke depan. “Jika pemerintah menetapkan untuk segera melakukan operasi pasar kembali kami telah menyiapkannya,” katanya. Bahkan, jika pemerintah meminta perusahaan logistik milik negara tersebut untuk menambah penyaluran raskin (beras untuk masyarakat miskin), menurut Sutarto, pihaknya juga telah siap. Dia katakan, selama ini pelaksanaan OP beras Bulog berdasarkan permintaan Pemerintah Daerah (Pemda). Meskipun harga beras di wilayah tertentu mengalami kenaikan, tambahnya, jika Pemda setempat menetapkan tidak perlu dilakukan OP makan Bulog juga tidak akan menggelar operasi pasar. “Oleh karena itu ke depan bila perlu Bulog saja yang menetapkan OP tak usah menunggu Pemda. Kalau menunggu Pemda ada yang tidak mau melakukan OP meskipun harga sudah naik,” katanya. Menyinggung realisasi operasi pasar beras yang dilakukan Perum Bulog, mantan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian itu mengungkapkan, untuk 2012 hingga Februari telah mencapai 210.856 ton atau lebih dari 50 persen dari total 2011 yang sebanyak 402.864 ton. OP beras tersebut terdiri berasal dari Cadangan Beras Pemerintah (CBP) maupun secara komersial yang mana untuk 2012 masing-masing sebanyak 169.238 ton dan 41.618 ton. Sedangkan untuk 2011 realisasi OP beras dari CBP sebanyak 221.955 ton dan secara komersial sebanyak 180.910 ton. Sementara itu dari total pemasukan beras ke Pasar Induk Beras Cipinang Jakarta, pada 2011 sebanyak 855.936 ton, lanjutnya, Bulog menyumbang sekitar 14 persen atau 114.814 ton. Sedangkan mengenai penyaluran raskin pada 2012, menurut Sutarto jumlahnya masih sama dengan tahun lalu yakni 3,41 juta ton untuk 17,49 juta rumah tangga sasaran (RTS) selama 13 bulan dengan volume 15 kg/bulan/RTS.

Selasa, 13 Maret 2012

Target Produksi Beras Terus Menurun

Kementerian Pertanian sepertinya tidak memiliki kepercayaan diri dapat mencapai target dalam roadmap pertanian. Kementan bahkan berencana merevisi beberapa target yang dirasa tidak dapat tercapai. Target produksi kian menurun menunjukkan importasi beras dimungkinkan. Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso menyebut jika lonjakan produksi beras tetap di bawah lima persen maka impor beras akan terjadi. Pasalnya, Kementan menunjukkan pertumbuhan produksi gabah dan beras tidak sampai lima persen hingga 2015 dalam roadmap pertanian. "Berdasarkan pengalaman yang lalu, kita setidaknya harus mencapai peningkatan produksi beras 6 hingga 7 persen tiap tahun. Jika di bawah itu harus impor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat," kata Sutarto ketika dihubungi, Minggu (11/3). Ucapan Sutarto cukup beralasan. Berdasarkan data skenario surplus beras Kementan produksi beras dan gabah tidak mencapai lima persen tiap tahun hingga 2015. Pada 2010 peningkatan produksi hanya 3,22 persen, 2011 turun menjadi 1,13 persen, 2012 sedikit meningkat menjadi 3,20 persen. Kementan kemudian menaikan target produksi naik pada 2013 sekitar 4,15 persen. Di 2014 dan 2015 pun angkanya sama.

Senin, 12 Maret 2012

Pemerintah Akui Target Produksi Padi Tak Tercapai

Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan mengakui capaian produksi padi yang ditargetkan sebesar 70,60 juta ton gabah kering giling tahun ini tak memenuhi target. "Di catatan kita, panen yang terakhir pada November sampai Desember kayaknya angkanya masuk ke 66-67 juta ton atau minimal sama dengan produksi tahun 2010. Berarti memang soal pencapaian target sangat berat," kata Rusman di kompleks Istana Negara, Selasa, 6 Desember 2011. Ia menilai kegagalan mencapai target ini hanya karena persoalan teknis di lapangan, misalnya persediaan pupuk atau bibit yang belum siap selepas panen. Ia mencontohkan, misalnya bibit dan pupuk diperlukan bulan November atau Oktober, namun anggaran baru ada Januari. "Bukan karena barang tidak ada, tapi administrasi itu menyebabkan kita menghadapi masalah," ujarnya. Untuk mengantisipasi hal ini tak terjadi lagi, ia mengusulkan agar tak menggunakan APBNP. "Itu kan bukan sistem anggaran, jadi awalnya kita pakai APBNP, tapi 2012 gunakan anggarannya pada 2012, tapi penggunaannya awal 2013. Itu baru jago deh," kata dia. Tak tercapainya target ini, tambah Rusman, tak akan mempengaruhi kenaikan harga beras. "Tergantung, suplai kan bisa dari mana-mana. Kalau suplai kuat dari impor, ya (tidak masalah). Impor enggak masalah sepanjang itu tujuannya untuk memperkuat suplai dalam negeri, jangan dikaitkan dengan swasembada dan tidak swasembada, kan jadi rumit," ujarnya.

Lahan Susut, Target Produksi Beras Direvisi

Kementerian Pertanian yakin produksi beras di musim panen Februari-April tahun ini mampu mencapai 24,3 juta ton beras. Jumlah tersebut merupakan 60 persen dari target produksi 72 juta ton gabah kering giling (GKG) atau 40,5 juta ton setara beras. “Kalau lihat sekarang hasil yang ada di lapangan, iya kami optimistis bisa mencapai angka itu,” kata Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan, Senin, 20 Februari 2012. Meskipun begitu, Kementerian Pertanian bakal merevisi roadmap target pencapaian produksi beras 2012. Rusman menuturkan pihaknya sedang mengkombinasikan antara sikap optimisme dan pesimisme dalam menyusun roadmap yang baru. Hal ini disebabkan pertanian Indonesia diakui semakin berat dilihat dari jumlah konversi lahan pertanian yang tinggi dan irigasi yang tidak memadai. “Dengan roadmap ini, ada semangat dan kerja keras untuk meningkatkan produksi beras,” katanya. Revisi ini bukan dalam pengertian naik atau turun target, tapi bagaimana memperkuat faktor-faktor pendukungnya. Rusman belum berani menetapkan angka perkiraan produksi beras tahun ini. Alasannya, meski beberapa daerah sudah ada yang panen, hasilnya belum bisa dilihat secara merata. Kondisi cuaca juga diakui sempat mempengaruhi produksi, yang membuat lahan pertanian terserang puso atau gagal panen. “Puso itu biasa terjadi, tapi bukan berarti kita harus bicarakan soal impor beras untuk mengantisipasi cadangan pangan. Kita jangan diskusikan tahun ini impor atau tidak,” ujarnya. Pemerintah baru dapat membicarakan kemungkinan akan dilakukan impor setelah bulan April selesai. Musim panen yang berlangsung sejak Februari hingga April ini, kata Rusman, menjadi momen bagi petani untuk memetik hasil jerih payahnya. Dan wacana impor bisa mengganggu harga gabah di petani. Sementara itu, Menteri Pertanian Suswono mengatakan, untuk mencapai target produksi padi sebesar 72,03 juta ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 2012, diperlukan areal tanaman padi seluas 14,02 juta hektare. Namun daratan Indonesia yang cocok untuk lahan pertanian yang baru digarap optimal hanya sekitar 8,1 juta hektare. Dari luas 14,02 juta hektare, kegiatan Sekolah Lapang Pertanian Tanam Terpadu memerlukan areal tanam seluas 3,5 juta hektare, Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) seluas 1,14 juta hektare, swadaya murni petani seluas 8,85 juta hektare. Dan sisanya seluas 0,53 juta hektare merupakan perluasan areal tanam, serta pengamanan pascapanen dan pengurangan lahan akibat serangan organisme pengganggu tanaman dan konversi lahan. Kementerian Pertanian juga memfasilitasi kegiatan pemberdayaan petani. Kegiatan ini diprioritaskan pada lahan sub-optimal seperti lahan rawa lebak, rawa pasang surut, gambut, dan lahan tadah hujan. “Pencapaian target produksi padi merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan perlu koordinasi yang lebih baik," kata Suswono.

Kamis, 08 Maret 2012

"Pemerintah Impor Gula Hingga Mei 2012"

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima bisa memaklumi keputusan Pemerintah melakukan impor gula. Pasalnya,kebijakan impor ini terpaksa dilakukan demi menutupi besarnya kebutuhan gula konsumsi yang sampai saat ini tidak mampu dipenuhi oleh produksi lokal. “Impor gula selama ini memang masih menjadi masalah. Dengan segala keterbatasan yang ada, pemerintah juga masih akan mengimpor gula sampai pada bulan Mei tahun ini,” jelasnya di sela kunjungan kerja Komisi VI DPR RI ke PG Tasikmadu, Karanganyar, Jawa Tengah, Kamis (23/2/2012). Menurut Aria Bima, target kebutuhan gula konsumsi di tanah air sampai saat ini sebesar 5,7 juta ton per tahunnya. Sedangkan produksi lokal sejauh ini masih belum mampu memenuhi besaran target kebutuhan itu. Diakuinya dibandingkan harga gula lokal, harga gula impor jauh lebih mahal. Kondisi tersebut di picu faktor alam di negeri pengimpor maupun efek dari krisis minyak dunia yang terjadi belakangan ini. Sementara di sisi lain, kebijakan impor gula pun selama ini kerap mengacaukan proses produksi dari gula lokal. Di mana kerap terjadi waktu pendistribusian gula impor berbarengan dengan masa panen dari gula lokal. Di sisi lain, program persiapan ini juga diharapkan dapat merangsang minat para petani gula di setiap wilayah kerja pabrik gula milik PTP IX untuk terus meningkatkan jumlah produksinya. Perlahan namun pasti, cara ini diyakini mampu mendongkrak harga gula lokal yang selama ini masih sering terkacaukan oleh harga gula impor. “Sebenarnya jadwalnya sudah diatur, tetapi karena satu dua hal, panen gula lokal terkadang terlambat dan akhirnya berbarengan dengan masa distribusi gula impor,” ujarnya. Dalam swasembada gula juga telah disepakati bila kebijakannya nanti harus berbasis on farm. Di mana ketersediaan pasokan bahan baku tebu tetap menjadi prioritasnya. Melalui swasembada on farm, pemerintah berencana menambah lahan pertanian mililk Perhutani dan Inhutani sekitar 300 ribu hektare di Lampung, NTB, Sulawesi dan Jawa. Pengalokasian untuk revitalisasi itu, telah dilakukan sejak tahun 2011 kemarin dengan nominal anggaran sebesar Rp 250 milliar dan Rp 300 milliar di tahun ini. Dana alokasi sebesar itu digunakan untuk menambah alat produksi serta memaksimalkan kapasitas teknis dan produksi dari 51 pabrik gula milik PTP IX. “Salah satu upaya yang kami lakukan untuk mempersiapkan swasembada gula pada 2014 mendatang adalah dengan mengalokasikan anggaran dana untuk revitalisasi sebanyak 51 pabrik gula milik PTP IX,” pungkasnya.

Rabu, 07 Maret 2012

Tahun Ini, Indonesia Bakal Impor Beras Lagi

JAKARTA– Kementerian Pertanian menurunkan target produksi beras dari 72 juta ton gabah kering giling (GKG) menjadi 66,7 juta ton. Hal ini mengindikasikan rencana impor beras dari pemerintah. “Kalau target 72 juta ton GKG itu karena pemerintah percaya diri tidak akan impor beras, namun kenyataannya tahun lalu saja target 70 juta ton tidak tercapai. Akhirnya tahun lalu impor, tahun ini pun akan impor minimal sama seperti tahun lalu,” kata Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir ketika dihubungi Media Indonesia, Jumat (10/2). Impor beras menurut Winarno menjadi keniscayaan karena produksi tidak akan cukup untuk menutup kebutuhan konsumsi masyaakat. Winarno menilai, target tersebut pasti akan turun dengan sendirinya meski pemerintah menargetkan muluk. Menurutnya, ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola pertanian untuk meningkatkan produksi belum dilihat maksimal. “Pengalaman kemarin saja target muluk akhirnya tidak tercapai kan, saat ini pemerintah berusaha rasional dengan hanya menargetkan 66,7 juta ton. Sektor pertanian belum ada langkah konkret untuk meningkatkan produksi beras,” lanjut Winarno.

Tahun Ini Pemerintah Akan Tetap Impor Beras

Tahun 2012 ini diperkirakan pemerintah kembali akan melakukan impor beras. Hal ini berdasarkan data bahwa Kementerian Pertanian menurunkan target produksi beras dari 72 juta ton gabah kering giling (GKG) menjadi 66,7 juta ton. "Kalau target 72 juta ton GKG itu karena pemerintah percaya diri tidak akan impor beras, namun kenyataannya tahun lalu saja target 70 juta ton tidak tercapai. Akhirnya tahun lalu impor, tahun ini pun akan impor minimal sama seperti tahun lalu," kata Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir kepada pers, Jumat (10/02). Menurut Winarno, pemerintah memutuskan melakukan impor beras karena pemerintah berasumsi produksi beras nasional tidak akan cukup untuk menutupi kebutuhan konsumsi masyaakat. Target tersebut pasti akan turun dengan sendirinya meski pemerintah menargetkan muluk. Hal ini terjadi karena ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola pertanian. Sehingga upaya untuk meningkatkan produksi belum dilihat maksimal. "Pengalaman kemarin saja, target muluk akhirnya tidak tercapai kan. Saat ini pemerintah berusaha rasional dengan hanya menargetkan 66,7 juta ton. Sektor pertanian belum ada langkah konkret untuk meningkatkan produksi beras," pungkas Winarno.

Cuaca Kian Ekstrem, Produksi Padi Terancam Jeblok

Faktor cuaca ekstrem yang terus melanda Indonesia diperkirakan bakal mempengaruhi produksi padi dan berujung terganggunya pasokan beras dalam negeri. Pemerintah dituntut untuk membuat program-program adaptasi. Dengan demikian, para petani mampu mengatasi masalah cuaca. Menurut Pengamat Pertanian, Husein Sawit, program adaptasi untuk menghadapi cuaca ekstrem ini harus mendapat dukungan, terutama dari segi kebijakan dan bujet. “Sayangnya, pemerintah kita justru malah lebih mendukung program mitigasi. Padahal, kepentingan kita berbeda, yang dibutuhkan adalah program adaptasi. Seharusnya pemerintah lebih mengedepankan membuat teknologi adaptasi. Kalau mitigasi itu kan untuk negara maju, kepentingan kita berbeda dalam hal ini,” ujar Husein Sawit saat dihubungi Neraca, Selasa (6/3). Dengan demikian, papar Dia, tak ada pilihan lain selain mengimpor beras dari luar negeri, kalau tidak ingin ketahanan pangan Indonesia terganggu. “Untuk menghindari hal itu, pemerintah sebaiknya mencari yang lebih aman, mengingat Thailand dan Vietnam dilanda banjir. Jangan lagi ambil dari sana, cari mana yang lebih secure,” terangnya. Husein pun mempertanyakan munculnya aturan pemerintah yang mengatur larangan impor beras mulai 7 Maret mendatang. Pasalnya, kebijakan ini diambil terlalu dini. “Lihat hasil panennya saja belum ketahuan, sudah membuat aturan seperti itu, tapi itu sudah biasa dilakukan pemerintah,” tegasnya. Maklum saja, imbuh Husein, sebelum menerapkan larangan impor, pemerintah melalui Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, sudah mengumumkan bahwa Indonesia akan melakukan impor beras sebesar 2 juta ton, itu juga belum mengetahui bagaimana hasil panen Indonesia. “Tindakan ini menandakan Menteri Perdagangan kita tidak cerdas, masak belum apa-apa sudah mengumumkan mau impor, harusnya impor itu tidak perlu diumumkan, karena akan berakibat tidak baik, misalnya, India mendengar kita mau impor beras mereka pasti sudah ambil ancang-ancang dari sekarang,” kata dia. Sementara Direktur Jendral Tanaman Pangan Kementrian Pertanian, Udoro Kasih Anggoro mengatakan, pemerintah belum memutuskan soal target produksi beras. Saat ini, Kementan masih menunggu keputusan pemerintah secara resmi mengenai target produksi beras. “Akan ada perbaikan target pencapaian produksi beras secara resmi dalam waktu dekat ini,” katanya. Dengan kondisi cuaca saat ini yang masih memburuk, Anggoro mengaku yakin dengan BMKG yang memberikan pernyataan bahwa cuaca di Indonesia normal. “Kita harus optimis, produksi panen beras akan terus membaik. Menurut BMKG cuaca Indonesia tahun ini normal,” ungkapnya. Meskipun demikian, imbuh Anggoro, masih muncul kekhawatiran akan terjadinya penurunan produksi beras pada kuartal ke 3 tahun ini, yaitu pada Juni – September. Anggoro menegaskan, kekhawatiran tersebut sudah diantisipasi pemerintah dengan membuat kebijakan-kebijakan baru melihat kondisi nanti. “kita sudah memiliki mekanismenya. Pada 1 Juli nanti akan ada rakor di Menko Perekonomian untuk membahas hal tersebut,” jelasnya. Anggoro menyampaikan, semua kendala yang berpotensi menimbulkan kegagalan produksi beras harus segera cepat diselesaikan. Kendala-kendalanya antara lain, konversi lahan, dari lahan sawah ke lahan non sawah, sarana irigasi yang buruk dan kewaspadaan terhadap hama penyakit. Ketua Umum Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menilai, ketidaksiapan pemerintah dalam mengelola pertanian untuk meningkatkan produksi terlihat belum maksimal. “Kalau target produksi beras 72 juta ton itu karena pemerintah percaya diri tidak akan impor beras, namun kenyataannya tahun lalu saja target 70 juta ton tidak tercapai. Akhirnya tahun lalu impor, tahun ini pun akan impor minimal sama seperti tahun lalu,” lanjutnya. Impor beras, lanjut Winarno, menjadi keniscayaan karena produksi tidak akan cukup untuk menutup kebutuhan konsumsi masyarakat. Dia menilai, target tersebut pasti akan turun dengan sendirinya meski pemerintah menargetkan terlalu muluk. “Pengalaman kemarin saja target muluk akhirnya tidak tercapai kan, saat ini pemerintah berusaha rasional dengan hanya menargetkan 66,7 juta ton. Sektor pertanian belum ada langkah konkret untuk meningkatkan produksi beras,” lanjutnya. Namun, target tersebut akan terhambat oleh ancaman cuaca ekstrem yang membayangi petani sepanjang tahun ini. Cuaca ekstrim juga akan pengaruhi harga beras. “Melihat cuaca saat ini, apalagi baru awal tahun kemungkinan akan mempengaruhi produksi beras. Apalagi kalau cuaca buruk seperti ini berkepanjangan, jelas menurunkan produksi petani,” ujar Winarno Winarno mengkhawatirkan musim panen yang akan dimulai pada periode Maret-April tahun ini. Menurut dia, jika cuaca buruk seperti hujan masih terjadi maka akan banyak persoalan ke depannya. Dia menyontohkan persoalan pengeringan gabah yang akan terganggu jika cuaca terus menerus hujan maupun mendung. “Selain masalah pengeringan, masalah lainnya yang juga besar yakni persoalan banjir, lihat saja kejadian di Thailand beberapa waktu lalu. Setelah banjir maka akan muncul hama penyakit, jadi akan banyak hadangannya peningkatan target produksi beras itu,” ungkap Winarno. Karena banyaknya hadangan dan tantangan pemerintah dalam mencapai targetnya, Winarno memprediksi penurunan produksi beras ditahun 2012 ini yakni hingga 5%. Deputi Kementerian Koordinator Perekonomian Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Diah Maulida mengatakan, upaya pemerintah untuk dapat mencapai target produksi beras tahun ini dengan mengadakannya program Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu. Sehingga, para petani diberikan penyuluhan untuk meningkatkan produksi. Namun, diakuinya apabila terjadi kekurangan dalam memenuhi kebutuhan beras pada tahun ini, kemungkinannya akan dilakukan impor. “Tapi itu perlu hitung-hitungan, tidak bisa diputuskan sekarang, dan kepastian dibuka jalur impornya pun, harus dirapatkan kembali, tidak bisa langsung buka keran impor,” jelasnya. Diah juga menjelaskan hitungan tersebut harus melihat hasil panen tahap kedua, dan dia juga menampik tidak bisa menyalahkan sepenuhnya produksi beras turun karena adanya perubahan cuaca Realisasi Impor Sementara itu Perum Bulog memastikan bahwa proses pengapalan beras impor rampung awal bulan ini. Sebab pemerintah telah memberikan batas akhir impor pada 7 Maret. “Saat ini seluruh beras impor sudah masuk seluruhnya ke dalam negeri,” katanya. Proses terakhir tinggal menunggu bongkar muat beras impor dari 2 kapal sejumlah 11 ribu ton, yakni dari Thailand 3 ribu ton dan India 8 ribu ton. Kedua kapal itu sudah bersandar di Pelabuhan Belawan, Medan dan Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara. Beras yang masih masuk ini merupakan realisasi importasi dari izin yang diberikan pemerintah kepada Bulog pada 2011 sebesar 1,9 juta ton. Pada 2010, Bulog mendapat izin untuk mengimpor beras sebanyak 1,8 juta ton. Izin impor beras 2011 paling lambat harus direalisasikan satu bulan sebelum panen raya atau terakhir pada Maret ini karena puncak panen raya pada April. Pada 2011 lalu, Bulog mendapatkan beras impor dari beberapa negara, yaitu India sebesar 250 ribu ton, Vietnam 1,2 juta ton, Thailand 465 ribu ton, dan Myanmar 4.900 ton. Beras yang diimpor adalah kualitas medium, sedangkan kualitas premium didapat dari impor beras Myanmar. Sutarto meyakinkan importasi beras Bulog karena memang produksi di dalam negeri sangat kurang. Pada tahun lalu dengan produksi turun 1,6%, sangat terasa sulit untuk menyerap gabah dan beras petani karena harga yang tinggi di atas HPP. Untuk pengadaan beras dalam negeri, sejak Januari hingga awal Maret ini, Bulog sudah kontrak sebanyak 154 ribu ton dari target pengadaan Maret sebesar 748 ribu ton. Dari total kontrak pengadaan itu, yang sudah masuk ke gudang Bulog sebanyak 101 ribu ton. “Tapi target pengadaan itu masih menggunakan asumsi produksi padi 72 juta ton gabah kering giling dari Kementerian Pertanian,” katanya

Riau Pasok 5.600 Ton Gula Impor

Dalam sebulan terakhir, harga gula di sejumlah pasar di kawasan Riau, sudah bertengger diangka Rp14.000 per kilogramnya, atau naik sekitar 40 persen dari dari harga wajar. Guna mencegah kenaikan harga yang lebih tinggi lagi, pekan depan akan diimpor 5.600 gula dari India dan Thailand yang masuk lewat pelabuhan Dumai. Gula impor itu akan masuk dalam dua tahap. "Sebanyak 5.600 ton gula impor dari India dan Thailand untuk kebutuhan Riau itu dengan sistem pendistribusian ditunjuk pemerintah PT Perseroan Perdagangan Indonesia (PPI). Sedangkan, Disperindag Dumai mengusulkan dua perusahaan distribusi di antaranya PT Yube Sakti," papar Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Investasi Kota Dumai Drs H Djamalus. Dia menjelaskan, kenaikan harga gula dipicu banyak faktor salah satunya adanya peralihan kebun tebu menjadi sawit di negara India. Sehingga, pasokan gula pada negara pengimpor berkurang. Djamalus mengatakan, selama ini Riau masih sangat bergantungan dengan gula impor. Sedangkan gula lokal hanya diperuntukan untuk kalangan industri. Djamalus berharap, dengan datangnya impor gula itu nantinya dapat menekan harga gula di pasaran. "Karena, kenaikan harga mencapai 40 persen ini sudah berlangsung hampir sebulan. Jika kondisi ini tidak diatasi dengan langkah kongrit tentu sangat berpengaruh terhadap perekonomian warga," bebernya. Keresahan warga sudah muncul. Rostina (54), warga Bukitimah mengharapkan kepada pemerintah agar segera mencarikan solusi kenaikan harga gula yang sudah bertengger Rp 14.000 per kilo itu. Karena, kebutuhan gula disetiap rumah tangga itu sangat banyak. "Kalau kondisi ini tidak teratasi, bisa-bisa kami tidak ada tenaga lagi untuk ke ladang. Karena, setiap harinya mencapai lima gelas minum teh sebelum ke ladang," harapnya.

IZIN TAMBAHAN IMPOR GULA TERLALU MEPET

PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI memperoleh izin tambahan impor gula sebanyak 60 ribu ton. Izin impor gula tersebut diberikan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu untuk memenuhi kebutuhan gula di dalam negeri. Selain itu, juga untuk menstabilkan harga sebelum datangnya musim panen pada Mei mendatang. Izin tambahan impor gula tersebut juga diberikan kepada PTPN IX sebanyak 32 ribu ton, PTPN X 57 ribu ton, dan PT Rajawali Nusantara Indonesia 51 ribu ton. Total izin impor tambahan yang diberikan kepada 4 IT 200 ribu ton. Sebelumnya, Departemen Perdagangan telah memberikan izin impor untuk 300 ribu ton gula periode Januari-Maret 2005. Sehingga, total izin impor gula tahun ini sejumlah 500 ribu ton atau sesuai rekomendasi dari DGI (Dewan Gula Indonesia). Corporate Secretary PTPN XI Adig Suwandi, mengatakan bahwa izin impor tambahan yang diberikan Menperdag memiliki beberapa kendala teknis di lapangan. Di antaranya, waktu pengadaan gula impor yang mepet dan ditargetkan datang di Indonesia sebelum 30 Maret 2005. “Selain itu, kami dihadapkan pada mahalnya harga gula internasional yang menembus USD 330 per metrik ton,” terang Adig kemarin. Kondisi itu mengakibatkan harga gula impor sampai di gudang importer mencapai Rp 5.000 per kilogram. “Karena itu, PTPN XI akan membelinya melalui bid offer atau penawaran terbatas kepada traders. Kami harapkan langkah tersebut mampu menekan harga pembelian di bawah USD 330 per metrik ton,” tukasnya. Importer juga dihadapkan pada masalah rumit soal banyaknya pelabuhan tujuan yang ditunjuk. Selain tingginya biaya, banyak tujuan bisa mengakibatkan gula sampai di Indonesia melebihi waktu yang ditentukan. “Kami masih mengkaji, kalau pakai entry point Jakarta dan Surabaya kemudian di antar-pulaukan mungkin lebih mudah dan efisien

Jalur Impor Gula Bakal Miliki Satu Pintu

Pelaksanaan impor gula mentah ke depan hanya dilakukan melalui satu pintu. Pemerintah sudah menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), yang nantinya bakal mendistribusikan raw sugar untuk digiling di sejumlah pabrik gula nasional. Menurut Menteri Pertanian Suswono penunjukan satu pintu impor ini dimaksudkan agar posisi tawar PPI menjadi tinggi. “Sehingga nantinya tidak ada spekulasi sehingga harga menjadi tinggi,” kata Ketua Harian Dewan Gula Indonesia (DGI) ini. Nantinya pabrik gula milik swasta bakal lebih diprioritaskan untuk menggiling gula mentah. Pasalnya PT Perkebunan Negara (PTPN) yang dianggap laik untuk melakukan penggilingan belum bisa beroperasi hingga Juni 2012. Padahal impor gula mentah, sudah harus masuk ke Indonesia Mei 2012 ini. “Atas dasar itulah, pabrik gula swasta lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk memproses gula mentah,” tegas politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu. Pemerintah sudah menetapkan bakal mengimpor gula mentah sebesar 240 ribu ton atau setara dengan 221 ribu ton gula kristal putih. Angka ini berdasarkan asumsi bahwa aka nada kekurangan gula selama satu bulan setelah musim giling.

Pemerintah tunjuk PPI untuk impor gula mentah

Pemerintah menunjuk PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) sebagai importir tunggal gula mentah, dalam upaya menutupi kekurangan 220 ribu ton stok gula dalam negeri. "Dalam rekomendasi Dewan Gula, untuk pelaku impor gula mentah diharapkan pabrik gula berbasis tebu, namun dalam keputusan rapat telah menunjuk PPI sebagai pengimpor gula mentah dan nantinya juga akan mendistribusikan ke pabrik-pabrik gula swasta," kata Menteri Pertanian Suswono di Jakarta, Selasa. Suswono mengatakan bahwa untuk pelaksanaan impor dan pengolahannya akan dilaksanakan paling lambat pada akhir bulan April 2012, dan akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan pada bulan Mei, khususnya untuk wilayah Indonesia timur. "Gula mentah ex-impor akan diproses oleh pabrik gula dan akan dialokasikan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing pabrik gula tersebut, tambah Suswono, yang juga mengatakan bahwa kekurangan sebanyak 220 ribu ton gula kristal putih tersebut memerlukan 240 ribu ton gula mentah. Suswono mengatakan, nantinya raw sugar tersebut akan digiling oleh pabrik gula swasta karena PT Perkebuanan Negara (PTPN) masih belum bisa beroperasi hingga bulan Juni 2012 mendatang. Untuk pengawasan, lanjut Suswono, nantinya akan ada tim pengawas yang beranggotakan pihak-pihak terkait dan diharapkan tidak akan merembes ke pasar, dan para petani akan mendapatkan harga gula yang tetap menguntungkan. Sebelumnya, pada Jumat (24/2) lalu, pemerintah telah memutuskan akan mengizinkan impor gula mentah guna memenuhi kebutuhan gula kristal putih untuk keperluan konsumsi seperti yang direkomendasikan oleh Dewan Gula Indonesia (DGI). "Sudah diputuskan impor gula mentah sesuai dengan rekomendasi DGI. Izin belum diterbitkan, tapi sudah ditetapkan demikian," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Deddy Saleh. Berdasarkan data dari DGI, sampai 31 Januari 2012 stok gula kristal putih yang ada hanya sebanyak 530.578 ton dan produksi gula putih sepanjang Januari-April 2012 sekitar 58.534 ton. Sementara kebutuhan gula putih selama Februari-Mei 2012, menurut perkiraannya, sekitar 860.000 ton, dengan demikian, ada kekurangan gula kristal putih sebanyak 261.068 ton yang akan dipenuhi dengan mengolah 240.000 ton gula mentah.

Dewan Gula: PPI Importir Tunggal Gula Mentah

Dewan Gula Indonesia sepakat dan akhirnya memutuskan hanya PT Perusahaan Perdagangan Indonesia yang mendapat jatah impor gula mentah (raw sugar) sebanyak 240.000 ton. Alasannya, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) sedang tidak masuk musim giling tebu. Menteri Pertanian Suswono yang juga Ketua DGI, Selasa (6/3/2012), di Jakarta, mengatakan, pada awalnya DGI merekomendasikan pengimpor gula mentah adalah pabrik gula berbasis tebu. Namun, dalam keputusan rapat terakhir, akhirnya sepakat dengan Kementerian Perdagangan yang menunjuk PPI sebagai pelaku importir yang nanti akan didistribusikan ke PG. ”Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya kami tetap memberikan keputusan sebagaimana yang diputuskan Kementerian Perdagangan. Impor raw sugar dilakukan PPI,” katanya. Dengan importasi satu pintu, posisi tawar akan lebih kuat daripada pabrik gula yang mengimpor sendiri-sendiri. Diharapkan, pelaksanaan impor dan pengolahan menjadi gula kristal putih dengan icumsa 100-200 paling lambat akhir April mendatang. Sebab, gula tersebut untuk memenuhi kebutuhan pada Mei 2012, terutama untuk konsumsi kawasan Indonesia timur. DGI juga akan membentuk tim pengawas yang melibatkan berbagai pihak seperti petani. Ini untuk mencegah perembesan gula tersebut ke wilayah Jawa dan Sumatera.

Selasa, 06 Maret 2012

Bulog antisipasi kenaikan BBM terhadap beras

Bulog Divre Jawa Barat melakukan antisipasi kemungkinan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) awal April 2012 yang diprediksi bakal berpengaruh terhadap program penyerapan beras tahun 2012. "Bila kenaikan BBM digulirkan, jelas pengaruhnya terasa untuk penyerapan beras antara lain ke harga pembelian dan peningkatan ongkos transportasi," kata Kepala Humas Bulog Divre Jawa Barat, May Sudirman ketika dihubungi di Bandung, Senin. Menurut May, pihaknya melakukan koordinasi dengan sejumlah sektor yang terkait dalam proses distribusi dan penyerapan beras untuk melakukan antisipasi terhadap kenaikan harga BBM. Namun dengan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) beras dari Rp5.060 menjadi Rp6.600 serta gabah kering giling (GKG) menjadi Rp4.200 per kilogram memberikan kekuatan bagi Bulog dalam melakukan penyerapan beras petani. "Dengan penetapan HPP baru jelas ada kekuatan bagi Bulog, namun tetap kami mengantisipasi dampak kenaikan BBM bila jadi digulirkan April nanti," katanya. Sementara itu penyerapan beras Bulog di wilayah Jawa Barat hingga awal Maret 2012 masih tersendat. Hal itu dikarenakan jumlah areal panen masih sedikit. Namun sudah mulai memasuki musim panen, dimana panen raya akan mencapai puncaknya pertengahan Maret hingga April 2012. Penyerapan beras yang dilakukan Bulog Jabar saat ini baru mencapai 6.000 ton dengan rata-rata penyerapan 1.000 ton per hari. "Penyerapan belum besar, masih dominan untuk mengisi stok di pasar-pasar yang sempat terkuras pada Januari dan Februari. Namun pada panen raya Bulog optimis bisa menyerap sebanyak-banyaknya dengan HPP baru," katanya. Sementara itu HPP beras Rp6.600 sebenarnya sudah diberlakukan Bulog sejak akhir 2011, namun tidak terlalu efektif karena tidak ada panen, selain itu harga beras di pasaran lebih tinggi. Bulog Jabar optimis merealisasikan target penyerapan 2012 sebesar 650 ribu ton, atau prognosa tertinggi dari Bulog Jabar. Sedangkan pencapaian penyerapan terbaik terjadi pada 2010 yang mencapai 600 ribu ton.

Senin, 05 Maret 2012

Pemerintah Wacanakan Impor Beras Mulai April 2012

Jakarta – Kementerian Pertanian menegaskan, penjajakan perjanjian kerja sama perdagangan beras antara Indonesia dengan Myanmar akan dilakukan setelah masa panen raya usai pada April 2012. Wacana impor beras dari Myanmar ini mengemuka setelah Menteri Perdagangan Gita Wirjawan melakukan kunjungan ke Myanmar dalam pertemuan retreat para Menteri Ekonomi ASEAN di Myanmar yang berlangsung pada akhir Februari lalu. “Saya tegas saja, kita baru mewacanakan atau mendiskusikan kita impor beras atau tidak setelah April itu selesai. Kalau menjajaki atau diskusi mengenai impor ya silakan saja. Bagi Kementerian Pertanian kita bicarakan setelah masa panen raya selesai,” ungkap Wakil Menteri Pertanian Rusman Heriawan di Jakarta, Rabu. Dia berpendapat, penjajakan perdagangan beras antara Indonesia dengan Myanmar hanya wacana awal perjanjian kerja sama. “Kalau menjajaki tidak ada masalah. Itu untuk reaksi cepat kalau terjadi kekurangan. Ini (impor atau tidak) kita putuskan setelah kita diskusikan kita evaluasi panen raya yang terjadi sampai Maret ini,” tegas dia. Pada pertemuan itu Myanmar menawarkan sejumlah kesempatan investasi kepada Indonesia di sejumlah sektor prioritas. Kesempatan ini ditawarkan Myanmar pada pembicaraan bilateral antara Indonesia dan Myanmar dalam pertemuan tersebut. Kerja sama produksi padi dan perdagangan beras juga punya potensi besar untuk dikembangkan kedua negara. Myanmar kini mencatatkan surplus produksi beras rata-rata 2 juta ton per tahun dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing. Sebelumnya Rusman juga menjelaskan, pihaknya berharap impor pangan harus dilakukan secara nasional oleh pemerintah pusat. “Jadi nantinya semua daerah tidak boleh melakukan impor pangan, khususnya beras. Itu tidak diperbolehkan,” ujar Rusman. Menurut dia, impor pangan akan menerapkan sistem satu pintu. Jadi kalau ada impor karena pertimbangan kepentingan nasional sehingga harus tetap satu pintu. Langkah ini untuk menghindari aktivitas impor dari daerah yang memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) berjumlah besar. “Nanti (jangan sampai) ada provinsi atau daerah yang mempunya banyak kekayaan minyak, PAD-nya tinggi, dia tidak termotivasi untuk membudidayakan pertanian. Mereka lebih baik impor saja, karena uangnya pun ada. Jadi bisa dikatakan dia tidak peduli dengan ketahanan pangan yang ada,” terangnya. Tak Ingin Impor Sementara itu, di tengah wacana impor beras yang kembali menghangat, Badan Urusan Logistik (Bulog) menegaskan tidak ingin melakukan impor beras guna memenuhi penyediaan stok beras yang di dalam negeri. “Kita itu sebetulnya tidak mau mengimpor beras, tapi menyerap produksi dalam negeri sebanyak-banyaknya,” ungkap Dirut Perum Bulog Sutarto Alimoeso, pekan lalu. Karena itu, Bulog telah menyiapkan Letter of Credit (L/C) sebesar Rp3 triliun untuk menyerap produksi dalam negeri. “Kita bekerja keras untuk mendapatkan pengadaan dalam negeri, Bulog melakukan berbagai langkah, dengan menyediakan L/C Rp3 triliun yang kita kirim ke daerah,” ungkapnya. Sutarto menjelaskan, pada musim panen Februari, pihaknya telah menyerap sekira 16 ribu ton beras produksi dalam negeri. “Bulog untuk panen hari ini telah menyerap 16 ribu ton kontrak seluruh Indonesia. Itu di Jawa Tengah yang paling banyak, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara,” ujarnya. Menjelaskan soal harga pembelian beras petani, Sutarto menyatakan harga untuk pembelian beras yang telah ditetapkan sebesar Rp6.500 untuk Pulau Jawa dan Rp6.600 untuk Aceh. “Di saat HPP Rp 5.060, kita berani Rp 6.500 di Pulau Jawa dan Rp 6.600 untuk Aceh,” beber Sutarto. Terkait kebijakan impor beras, pihaknya belum memastikan jumlah beras yang akan diimpor. Sutarto hanya memastikan Bulog kan terus menjaga hubungan baik dengan negara-negara pengimpor seperti Vietnam, Thailand, dan India. “Produksi dunia cukup baik, harga cukup bagus, negara-negara pengekspor ini hanya Vietnam dan Thailand, India juga mengekspor jadi harga dunia cenderung turun. Tapi kalau bisa tidak impor, tapi tetap menjaga hubungan,” tegasnya.