PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: Oktober 2012

Selasa, 23 Oktober 2012

Terjebak Impor Beras


Akhirnya pemerintah mengumumkan akan mengimpor 1 juta ton beras (Kompas, 21 September 2012). Keputusan itu diambil setelah mempertimbangkan stok akhir Bulog tahun ini rendah (hanya 1 juta ton) dan cadangan beras dinaikkan jadi 2 juta ton.
Niat impor beras telah lama dicanangkan pemerintah. Tidak lama setelah diangkat menjadi Menteri Perdagangan, Gita Irawan Wirjawan—pada Februari 2012—menyatakan bahwa Indonesia akan mengimpor 2 juta ton beras. Pernyataan itu dikutip oleh media dalam dan luar negeri.
Alasannya sederhana. Harga di pasar internasional lagi murah, hanya 400 dollar AS per ton untuk beras kualitas premium dan kebutuhan beras Indonesia terus meningkat. Lazimnya, pernyataan impor beras dihindari pada awal tahun karena—masih bulan Februari—baru mulai panen raya. Bulog pun sedang giat-giatnya menyerap beras dari produksi dalam negeri.
Stok akhir tahun Bulog adalah penjumlahan stok awal tahun, ditambah pengadaan dikurangi jumlah penyalurannya. Pengadaan dalam negeri ditargetkan tinggi, tetapi realisasinya selalu rendah karena laju pertumbuhan produksi gabah akhir-akhir ini kurang stabil. Penyebab utamanya: infrastruktur irigasi yang buruk, konversi lahan sawah yang sulit dibendung, serta perubahan iklim. Di pihak lain, tanpa mengindahkan hal itu, pemerintah memperbesar penyaluran beras Bulog. Hal ini sulit dipenuhi dari produksi dalam negeri.
Beras Bulog dominan diperuntukkan buat program beras untuk orang miskin (raskin) dan penyaluran cadangan beras pemerintah, terutama untuk operasi pasar dan situasi darurat. Penyaluran beras untuk program raskin, sejak 2008, sangat besar. Rata-rata 3,2 juta ton per tahun. Padahal, efektivitas raskin dalam pengendalian harga beras relatif rendah bila dibandingkan dengan intervensi pasar beras kualitas premium/super.
Akan tetapi, karena jumlah raskin sangat besar (10-12 persen dari total konsumsi bulanan), secara tak langsung dapat meredam laju kenaikan harga beras. Namun, biayanya tinggi dan sering konflik dengan tujuan lain, khususnya diversifikasi pangan, target menurunkan tingkat konsumsi beras 1,5 persen per kapita per tahun.
Terjebak target raskin
Semakin besar volume raskin semakin tinggi kandungan beras impor dalam program raskin. Selama periode 2000-2011, misalnya, peran raskin terhadap pengadaan dalam negeri rata-rata 110 persen per tahun. Artinya, penyaluran raskin melebihi 10 persen per tahun, di atas kemampuan pengadaan dalam negeri. Pada 2011 malah mencapai 194 persen. Karena pengadaan dalam negeri sangat rendah dan pertumbuhan produksi negatif, impor beras pun mencapai 2,2 juta ton, tertinggi sejak 2004. Selain itu, banyak pemerintah daerah yang menolak beras impor yang disalurkan melalui program raskin. Kekisruhan ini akan terus bergulir sehingga akan menurunkan dukungan politik/publik terhadap program raskin.
Penyaluran cadangan beras pemerintah hanya sekitar 300.000 ton per tahun, tentu tak sebanding dengan volume raskin seperti yang telah disebutkan di atas. Kalau cadangan beras pemerintah diperbesar menjadi 2 juta ton dengan beras kualitas raskin, itu tidak akan efektif untuk intervensi pasar, apalagi untuk bantuan internasional dan mengisi cadangan beras darurat ASEAN. Agar efektif, pemerintah perlu mengimpor beras kualitas super/premium.
Kita telah terjebak dengan target memperbesar volume raskin dan meningkatkan CBP kualitas rendah (beras medium). Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang program raskin agar dikembalikan ke tujuan awal, yaitu menguatkan ketahanan pangan rumah tangga miskin. Kalau itu dipilih, volume raskin perlu dikurangi hingga paling banyak 2 juta ton per tahun. Cadangan beras pemerintah pun perlu ditata ulang. Cadangan sebesar 2 juta ton haruslah diisi secara bertahap dengan beras kualitas premium/super yang berasal dari pengadaan dalam negeri. Tanpa kedua usaha itu, kita pasti terjebak dengan impor beras

Diduga mengandung arsenik, pemerintah batal impor beras Thailand


Isu beras asal Thailand dan Vietnam mengandung zat berbahaya arsenik muncul akhir bulan lalu. Hasil studi organisasi kesehatan dunia (WHO) menyatakan, beras produksi Thailand diduga mengandung arsenik dari tambang timah.
Pemerintah mengaku tidak lagi mendatangkan beras dari Thailand. Padahal dari kesepakatan KTT ASEAN tahun ini, pemerintah berencana mengimpor 1 juta ton beras dari Thailand jika kebutuhan dalam negeri mendesak.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian PerdaganganDeddy Saleh meminta masyarakat tidak khawatir dengan isu beras mengandung arsenik yang masuk ke Indonesia. Sebab, pemerintah belum melakukan kerjasama apapun terkait beras asal Thailand.
Dia sekaligus menepis rumor bahwa tahun ini pemerintah telah mengimpor 834.000 ton dari Negeri Seribu Pagoda itu. "Sampai saat ini saya belum pernah menerima laporan. Sudah lama kita tidak impor beras dari Thailand," ujar Deddy saat ditemui di kantornya, Rabu (10/10).
Isu kandungan arsenik dalam beras muncul setelah majalah ConsumerReports, edisi 20 September lalu menyatakan bahwa nasi yang dimakan sekali sehari dapat mendorong kadar arsenik dalam tubuh manusia naik 44 persen. Sementara untuk konsumsi dua hari sekali dapat meningkatkan kadar arsenik hingga 70 persen. Patut diketahui, zat ini serupa penyebab terbunuhnya aktivis kemanusiaan Munir.
Rencana impor darurat sampai saat ini masih diterapkan pemerintah. Alasannya, konsumsi beras di Indonesia termasuk yang tertinggi di level Asia, mencapai 113 kilogram per kapita per tahun. Jika nantinya harus mengambil dari Thailand pun, Deddy menjamin akan berkoordinasi dengan Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai pelaksana pembelian.
"Itu terserah Bulog akan mengimpor dari mana. Nanti beras yang diimpor akan diverifikasi oleh surveyor kita. Kalau terdapat kandungan yang membahayakan pasti akan dicegah," paparnya.
Sebelumnya, Peneliti Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen) Endang Romjali mengaku sedangmeneliti beras yang ada di pasaran.
"Kami masih meneliti tentang hal itu, masih kita teliti berapa persen arsen yang terdapat dalam beras yang dikonsumsi di Indonesia. Pokoknya ini masih dalam taraf penelitian soalnya terdapat level akan arsen tersebut serta kandungan variasinya," ujarnya.

Senin, 22 Oktober 2012

Lembaga Pangan Idealnya Berbentuk Non Kementerian


Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor Hermanto Siregar menilai, idealnya lembaga baru khusus pangan berbentuk lembaga pemerintah non-kementerian. "Kalau bentuknya masih kementerian biasanya fleksibilitasnya kurang dan terbatas dalam pengambilan keputusan," kata Hermanto ketika dihubungi Tempo, Sabtu, 20 Oktober 2012.

Menurut dia, lembaga baru khusus pangan ini harus bertanggung jawab langsung kepada Presiden agar memiliki otoritas yang kuat dalam menangani pangan. Dan lebih lincah dalam mengambil keputusan.

"Sebaiknya lembaga baru ini merupakan bentuk transformasi dari Perum Bulog. Peran Bulog harus ditambah dan fungsinya diubah sesuai amanat dalam Undang-Undang Pangan," Hermanto mengatakan.

Kamis (18/10) lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Undang-Undang Pangan baru hasil revisi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan. Undang-Undang Pangan yang terdiri dari 17 bab dan 154 pasal ini memuat beberapa perubahan dalam pengelolaan pangan seperti mewajibkan pemerintah melakukan stabilisasi pasokan dan harga pangan di tingkat produsen dan konsumen.

"Bulog harus ditransformasi karena memang tidak boleh ada dua lembaga mengurus persoalan pangan karena membuat bingung dan tidak efektif," ucapnya. Dia menambahkan, dengan transformasi Bulog menjadi lembaga pangan baru maka akan memiliki kekuatan dalam melakukan stabilisasi harga dan menjamin pasokan untuk seluruh komoditas pangan.

Namun, Hermanto mengingatkan, perlu ada pengawasan yang ketat terhadap bentukan lembaga pangan yang baru ini karena otoritasnya yang kuat dalam menangani persoalan pangan. "Lembaga itu juga harus ada unit kerja yang memastikan good governance berjalan dengan baik," katanya.

Hal senada juga diungkapkan Wakil Ketua Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat Firman Soebagyo. Dia menilai, sesuai amanat Undang-Undang Pangan yang baru disahkan itu, seharusnya lembaga pangan tidak berbentuk kementerian.

Untuk menjadi lembaga pangan yang baru, lanjutnya, sebaiknya pemerintah melebur tiga lembaga menjadi satu dengan fungsi lebih besar. Tiga lembaga yang sebaiknya dilebur adalah Badan Ketahanan Pangan, Dewan Ketahanan Pangan, dan Bulog. "Tapi idealnya Bulog yang akan menjadi leading karena sudah memiliki kesiapan infrastruktur di tiap kabupaten, sehingga lebih mudah pengaturan otoritasnya."

Bulog yang memiliki kesiapan infrastruktur ini bisa dinaikkan fungsinya, diubah statusnya, dan diberi regulasi untuk mengatur pangan. Dengan begitu, Bulog yang menjadi lembaga pangan tidak lagi hanya sebagai bufferstock dan bisa terbebas dari intervensi politik.

Lembaga pangan yang baru nanti, dia menambahkan, tidak akan mempengaruhi pencapaian target pemerintah untuk swasembada lima komoditas pada 2014. Menurut Firman, semakin cepat pemerintah membentuk lembaga pangan ini justru akan memperkuat program pemerintah tersebut.

Minggu, 21 Oktober 2012

Bulog Paling Tepat Jadi Badan Otoritas Pangan


Pemerintah sebaiknya menjadikan Perum BULOG sebagai badan otoritas pangan (BOP), yang berada langsung di bawah presiden. Selain lebih simpel, perubahan status BULOG menjadi BOP akan menghemat biaya, waktu, dan tidak menciptakan rantai birokrasi baru.

"Menurut hemat kami, penunjukan BULOG sebagai BOP akan lebih efektif dan efisien. Dalam sisa waktu tiga tahun ke depan, pemerintah tinggal memperkuat BULOG agar benar-benar siap saat nanti mengemban tugas sebagai BOP, kata Jusuf, staf ahli presiden bidang energi dan ketahanan pangan, kepada Investor Daily di Jakarta.

DPR kemarin mengesahkan UU Pangan baru yang merupakan hasil revisi UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Pasal 126 hingga 129 UU tersebut mengamanatkan pembentukan lembaga, di bawah presiden langsung guna mewujudkan kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan nasional.

Lembaga yang sering disebut BOP itu dapat mengusulkan kepada presiden, untuk memberikan penugasan khusus bagi BUMN di bidang pangan, guna melaksanakan produksi, pengadaan, penyimpanan, atau distribusi pangan pokok dan pangan lainnya.

Status lembaga yang harus terbentuk paling lama pada 2015 itu, akan diatur melalui peraturan presiden (perpres). Jusuf menjelaskan, Presiden SBY telah menginstruksikan agar Perum BULOG direvitalisasi. Dengan begitu, BULOG dapat menjalankan tugasnya secara maksimal sebagai stabilisator harga sekaligus sebagai penyangga stok pangan utama nasional.

"Revitalisasi bertujuan agar BULOG bisa menjaga kepentingan petani di satu sisi, dan kepentingan konsumen di sisi lain. Konsumen dapat membeli pangan dengan harga terjangkau, tapi petani juga memperoleh nilai tukar yang bagus, papar dia.

Dia mengakui, selama ini rantai birokrasi pangan lumayan panjang. Padahal, untuk menstabilkan harga dan menjaga stok pangan, diperlukan kecepatan berindak, terutama saat harga pangan mengalami gejolak atau stok pangan terancam.

Presiden SBY beberapa waktu lalu menyatakan, BULOG akan kembali diserahi tugas mengelola beras, gula, kedelai, dan daging sapi. Bersamaan dengan itu, santer beredar kabar bahwa BULOG akan ditempatkan langsung di bawah presiden. Jika ditempatkan langsung di bawah Presiden, berarti BULOG akan dikembalikan statusnya seperti pada era 1995.

Pada era itu, BULOG berstatus sebagai lembaga pemerintah nondepartemen, yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. BULOG pada masa itu memiliki tugas pokok mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras, gula, gandum, terigu, kedelai, pakan, dan bahan pangan lainnya.

Mendag: Impor Beras dan Kedelai Harus Dikurangi



Menteri Perdagangan Gita Wirjawan menegaskan, Indonesia harus mulai mengurangi ketergantungan impor terhadap dua kebutuhan pokok nasional, yaitu beras dan kedelai.
"Impor kebutuhan bahan pokok beras dan kedelai harus dikurangi. Saat ini kita masih sangat bergantung pada pasokan dari luar negeri," kata Gita usai menghadiri Temu Akbar Alumni Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) Surabaya di Jakarta, Sabtu (20/10/2012).
Untuk beras, Gita mengatakan, impor untuk komoditas tersebut harus peka terhadap produksi nasional.
Sebelumnya, pemerintah berencara untuk mengimpor 700.000 ton beras untuk menambah stok Bulog menjadi dua juta ton pada akhir tahun 2012. Menteri Pertanian Suswono pada Jumat (19/10) mengatakan, stok dalam negeri pada akhir tahun dapat mencapai 1,3 juta ton dengan asumsi serapan 3,6 juta ton.
Namun, Gita menjelaskan, keputusan impor beras sebanyak 700.000 juta ton tersebut belum final karena data yang digunakan masih berupa perkiraan.
"Jika serapan beras di lapangan ternyata lebih bagus dari perkiraan, maka jumlah impor beras tidak akan sebanyak itu," ujar Gita.
Di sisi lain, Gita mengaku prihatin terhadap fakta yang menunjukkan bahwa 70 persen kebutuhan kedelai nasional yang diperkirakan mencapai 2,5 juta ton masih harus dipenuhi dari negara lain.
"Ini menunjukkan bahwa ketahanan dan kedaulatan pangan kita masih sangat rendah, dan masalah pada komoditas kedelai akan menjadi prioritas utama kementerian yang terkait dengan pangan," tukas dia.
Saat ini, Indonesia harus mengimpor sekitar 1,7 juta ton kedelai untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Rendahnya produksi kedelai nasional menyebabkan harga komoditas tersebut melambung tinggi, dan menjadi pemicu utama inflasi sebesar satu persen di Jawa Tengah pada bulan September.