PT. PAN ASIA SUPERINTENDENCE CABANG BATAM: Menghemat Beras di Republik Nasi

Minggu, 10 Juni 2012

Menghemat Beras di Republik Nasi

BISAKAH Indonesia bebas dari impor beras dan menghemat triliunan rupiah setiap tahun untuk membiayai pembelian bahan pangan pokok itu dari berbagai negara di dunia? Pertanyaan itu memang patut terus menerus didengungkan, karena ‘’kebiasaan’’ impor itu akan memasukkan kita pada perangkap berbagai krisis selanjutnya. Faktanya, negeri ini memang pengimpor beras terbesar di dunia. Data BPS menyebutkan, hingga September 2011, Indonesia impor 1,62 juta ton beras dari berbagai negara, dan harus merelakan devisa Rp 8,5 triliun melayang. Data BPS terbaru, dalam triwulan pertama tahun ini, kita mengimpor beras sebanyak 770,3 ribu ton senilai 420,7 juta dolar AS, atau Rp 3,8 triliun. Berbagai kritis akan menyusul kemudian. Pertama, ketika kita tidak lagi punya kemampuan untuk membeli beras itu, karena cadangan devisa yang semakin tipis, ketika hasil bumi telah semakin terkuras, hutan-hutan telah semakin gundul dan kerontang. Dan kedua, ketika terjadi krisis pangan dunia, saat mana negara-negara yang semula mengekspor beras ke negeri ini lebih mementingkan ketahanan pangan dalam negeri masing-masing. Ada banyak faktor yang melatarbelakangi impor beras negeri ini. Selain tingkat konsumsi per kapita beras memang tertinggi di dunia, faktor lain adalah alih fungsi lahan sawah untuk kepentingan lain, seperti perumahan, jalan, fasilitas umum, dan sebagainya. Majalah Asiaweek edisi Mei 2001 mengungkapkan, 90 persen produksi beras dunia dikonsumsi orang Asia. Setiap tahun rata-rata orang Asia mengonsumsi 86 kg beras, orang Amerika 9 kg, Eropa 4 kg. Di antara warga Asia itu, orang Indonesia merupakan konsumen terbesar, dengan tingkat konsumsi beras per kapita per tahun sebanyak 168,9 kg, disusul kemudian oleh Thailand (153,1 kg), Filipina (111,1 kg), serta China (107,4 kg). Makin Rakus Bisa dibayangkan, dengan tingkat konsumsi beras per kapita sebesar itu, dengan jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa di tahun 2012 ini, negeri ini ibarat raksasa yang rakus beras. Karena itu, sebutan Republik Nasi pun pantas-pantas saja diberikan bagi negeri ini. Bagaimanakah dengan kondisi lima tahun ke depan? Atau, 10 tahun ke depan? ‘’Si raksasa’’ ini semakin rakus menghabiskan beras. Maka, gerakan hemat konsumsi beras adalah hal yang paling logis dilakukan. Mengapa (harus) beras? Pada era pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, beras sangat dipopulerkan sebagai ‘’komoditas politik’’. Kondisinya kurang lebih seperti BBM saat ini. Tentu ada latar belakangnya. Kondisi Indonesia awal Soeharto berkuasa diwarnai krisis ekonomi dan pangan. Pangan benar-benar sulit didapat saat itu. Karena itu, program pembangunan yang diprioritaskan adalah pemenuhan pangan, khususnya bahan pangan pokok beras. Program modernisasi pertanian, yang dikenal dengan revolusi hijau, digencarkan. Terlepas dari berbagai dampak sosial dan lingkungan dari revolusi hijau yang masif ini, Indonesia berhasil mendongkrak produksi berasnya. Tahun 1986 negeri ini berhasil swasembada beras. Pak Harto mendapatkan penghargaan dari FAO. Pihak Barat pun senang, karena premisnya kecukupan menjadi senjata yang ampuh untuk melawan komunisme. Karena produksi beras menjadi pamor ukuran keberhasilan dalam pangan, maka produksi yang tinggi pun diikuti oleh konsumsi beras yang meningkat pula. Masyarakat dari daerah-daerah yang semula bahan pangan pokoknya bukan nasi (ubi, sagu, singkong) menjadi turut mengonsumsi nasi pula. Demikian pula berbagai daerah di Jawa, yang biasa mengombinasi nasi (jagung atau nasi), atau ketela, menjadi penuh mengonsumsi nasi. Akibatnya, makanan-makanan pokok lokal itu berubah posisinya menjadi makanan klangenan. Dengan latar belakang seperti itu, masihkah ada peluang untuk mengurangi konsumsi beras, baik secara individual (per kapita) maupun secara agregat? Peluang itu sangat terbuka, dengan menggarap ranah pengetahuan/ pemahaman (mind-set) masyarakat, serta secara bersamaan mengembangkan ranah pengolahan pangan, yang menjadikan sumber-sumber karbohidrat lain yang semula tidak populer bisa semakin diminati masyarakat.

Tidak ada komentar: